RSS

Category Archives: Catatan Hari Ini

e dijahyellow e tengkiyuuu

…saat yang WARAS menghibur masyarakat yang sakit…

Masyarakat yang sakit dibangun dari individu yang hidup dengan modus “memiliki” dan menolak untuk “menjadi”. Erich Fromm

Sementara ciri utama orientasi memiliki yaitu kecenderungan memperlakukan setiap orang dan setiap hal menjadi miliknya. Dimana memiliki berarti menguasai dan memperlakukan sesuatu sebagai objek. Hal ini berkonsekuensi pada pem-benda-an. Yang berarti hal ini berkorelasi pada pengertian pada segala sesuatu yang dibendakan akan diberlakukan seperti benda.

Saya sih tidak terganggu dengan siaran seharian penuh pernikahan Raffi Ahmad dan Nagita Slavina. Meski bahkan sebelum acara live tersebut benar-benar tayang, sudah banyak orang komplain melalui dumay sebab merasa haknya untuk mendapatkan informasi yang sehat dan bernutu telah dilanggar oleh Raffi Ahmad dan stasiun televisi yang menyiarkannya.

Pikir saya sih itung-itung njagong manten, sementara menghitung ada berapa banyak perempuan ingin seperti Gigi. Di samping saya, mbak Rita, suster-nya eyang berulang kali bilang, “aku juga mau kayak Gigi, ya ampun hadiahnya sepatu harganya mahal.”

Bukan soal ini yang saya sedang batin dua tiga hari ini.

Tapi soal Hodijah @dijahyellow yang sempat saya lihat tayangannya di youtube.com seperti ini

Coba perhatikan cara Hodijah bercerita soal Bieber. Apa benar Hodijah “waras?” Bagi saya, stasiun televisi yang pernah menyiarkan/mengundang Hodijah ini sudah terlampau keterlaluan. Mungkin saja, saya salah satu orang yang kurang perduli tentang siaran televisi Indonesia. Bukan karena belagu merasa tayangan tv Indo nggak mutu, tapi karena saya memang jarang nonton tv, hobi saya maenan koi, memasak, dan maenan tanaman. Selebihnya sebelum tidur saya akan menyempatkan diri nonton tayangan Natgeo, meski kadang bikin wagu sendiri tapi tetap masih menyehatkan. Butuh nonton opera sabun saya akan mengaktifkan channel starworlds. Nunggu beberapa opera sabun yang sering ditayangkan berseri di situ pada musim-musim tertentu.

Bisa jadi saya satu-satunya yang gila, sementara yang lain masih sehat sentosah. Mengapa saya mencurigai orang di sekililing saya, sementara mereka bisa memprotes tayangan soal pernikahan Raffi Ahmad (buktinya bisa update di dumay kan? yang bahkan sblm tayangan Raffi – Nagita benar-benar tayang) tapi kecolongan soal Hodijah. Atau jangan-jangan memang saya yang gila? saat sok tahu (jadi ingat revisi dari dosen saya Katrin Bandel di sebuah lembar tesis saya) karena membawa barometer sendiri soal gila dan waras. Jangan-jangan memang saya yang gila karena menyebut Hodijah kan “sakit.” Jangan-jangan memang hanya saya yang gila karena mempertanyakan mengapa stasiun tv berikut awak kapalnya tega mengundang dan menyiarkan Hodijah untuk menjadi tontonan dan tertawakan penonton. Lalu pulang kembali ke rumah untuk membaca tweet dan komentar dari followernya yang menghina dan mengejeknya.

Hodijah bukan Syahrini, Shinta Jojo apalagi Nikita Mirzani, pemirsa…

…yang meskipun bukan berarti saya lebih bisa memaklumi ejekan pada mereka, tapi Hodijah berbeda. Atau jangan-jangan memang hanya saya saja yang menganggap Dijah berbeda?

SAYA JUGA SAKIT, saya beberapa kali mengetikkan nama Hodijah di youtube.com, instagram, dan twitter. Memperhatikan setiap tweet-nya, upload-an video dan wawancara televisi. Berulangkali meyakinkan diri saya bahwa tayangan itu bukan settingan untuk mengimajikan Dijah Gila, (mengingat jaman sekarang kan konon settingan semua)

Apa yang Indra Herlambang, Raffi, Jessica lakukan pada Hodijah, apapun alasannya sungguh tidak pantas. Saya mengabaikan teori Foucult, saya mengabaikan mas Erich Fromm…karena bagi saya cuma satu, sejauh ini, antara media dan pemirsa televisi Indonesia, ternyata memang hanya Hodijah yang waras. Sementara saya sendiri sakit, terbukti berhari-hari setelah melihat share-sharean berita soal Hodijah yang mengejek RAISA dengan judul, dasar artis dadakan, di facebook, saya tidak bisa berhenti memikirkan Hodijah. masyarakat pemirsa juga tak kurang sakitnya, karena mereka lebih terganggu dengan tayangan pernikahan Raffi-Nagita ketimbang dipermalukannya Hodijah yang “sakit” di televisi.

Suatu hari kalau saya menemukan bukti dan menyadari bahwa ternyata kasus Hodijah adalah settingan, saya tetap tidak akan menyesal telah menuliskan ini, bagi saya apa yang dilakukan televisi terkait Hodijah adalah cara paling kotor memperolok dan menghina masyarakat yang sudah “sakit”. Kurang gila apa cobalah kami? sedang saban hari manggut-manggut saja melihat acara keluarga Raffi Ahmad, setelah sebelumnya tergila-gila pada kisah cinta Ariel dan Luna Maya di layar kaca…mengalahkan berita pembunuhan dan pemerkosaan di desa-desa yang jauh dari Jakarta. Kok ya masih tega mempertontonkan satu-satunya manusia yang masih “waras”, Hodijah di hadapan kami…

Baiklah, ada baiknya saya melanjutkan maen bekel sendirian yang kemarin saya beli dari sebuah toko di jalan Kaliurang sana….

e dijahyellow e tengkiyuuu

Kota yang sakit, 25 Oktober 2014

 
2 Comments

Posted by on October 25, 2014 in Catatan Hari Ini

 

Tags: , , , , , , , , , ,

herlinatiens: Sejak Kapan Negara HARUS PEDULI pada masyarakat?

; sebuah tawaran untuk tidak mudah terbakar [setelah membaca sebuah berita di koran pagi ini tentang penggusuran lapak di sebuah ruas jalan].

Sejak kapan negara harus bertanggungjawab terhadapat masyarakatnya [yang terlampau kronis mengkeparatkan negara]? dan sejak kapan masyarakat menjadi begitu apatis terhadap negara?
Jawabannya tentu bukan seperti yang dilontarkan orang-orang pintar di dalam kelas yang sibuk menganaktirikan seluruh kebijakan pemerintah dengan balik bertanya: SEJAK KAPAN KAMI HARUS PEDULI KETIKA HIDUP KAMI LEBIH BANYAK DIACUHKAN milik J.F Kennedy.

Lantas begitu saja, GOLPUT dan diam adalah perilaku paling alami [bijak?] dari semuanya.
Kalau kami bergerak, ada moncong senapan siap memecahkan kepala kami.
Karenanya yang tidak sengaja tertembak di sebuah demonstrasi adalah PAHLAWAN [yihaaa, are you kidding me darling?]

Banyak dari kita, andakah itu? yang menganggap negara sebagai kolonialisasi berkedok homo homini lupus. Menganggapnya sebagai mesin penghisap yang tangguh bagi masyarakatnya demi kepentingan sendiri. Saya sendiri manusia yang butuh aturan, terlepas hanya sebatas aturan yang saya buat sendiri. Masalahnya saya sendiri sering lupa, apakah aturan itu mengganggu orang lain atau tidak…bayangkan misal seluruh rakyat Indonesia [yang terlampau saya cintai ini] sama seperti saya, apa ndak saling bunuh ini orang??? Karenanya saya butuh sebuah aturan yang mengikat. Meski itu bukan berarti dipanoptikonkan…

Atau alih-alih menjelma [mengatasnamakan] perantara lidah rakyat menjadi mesin penyerang yang tangguh untuk merongrong seluruh sistem yang tengah dijalankan negara. Mengatasnamakan; sekian ribu buruh; sekian ribu petani; sekian ribu nelayan; sekian ribu pengangguran; sekian ribu TKW dengan selembar jawaban itu tadi. Lalu saat anda tidak peduli pada negara, lantas mengapa memaksa pemerintah memberikan sekolah gratis ke anak dan cucu? Kalau kita sendiri membiarkan mereka bolos sekolah dan tidak bertanggungjawab pada hak yang diberikan? Nah lhoh, itu baru sekolah sedikit dikasih subsidi, bayangkan kalau murah pula. APALAGI gratis…yg bener aja bung!
Hei Bung, pendidikan bukanlah barang murah[an], meski tidak lantas saya membenarkan sebagai suatu kemewahan…

Taufik Ismail, seorang penyair yang konon tidak pernah dipenjarakan di jaman Orde Baru ini entah oleh apa, kurang dari setahun paska jatuhnya ORBA segera mengeluarkan buku berjudul MALU AKU JADI ORANG INDONESIA. Kelak saya berharap ada antologi syair yang lebih manis dengan judul BANGGA SAYA MENJADI ORANG INDONESIA.

Sebagian dari anda mungkin akan bertanya, Indonesia sebelah mana? Indonesia itu apa? ah yang benar. Jangan-jangan itu hanya klaim anda sebagai bangsa yang merasa menjadi bangsa penerus. Penerus kolonial mana?

Menjadi komentator dan korektor menempati timbangan yang sama gampangnya dengan menjadi koruptor.
Sejak orang-orang pintar makin pandai mengkoreksi dan memberikan nilai ZERO pada negara, tanpa menawarkan satu penguat yang solid bagi keutuhan bangsa [tunggu dulu jangan tergesa marah dengan bertanya bangsa yang mana?] ya sama aja bohongnya. Main koreksi tanpa menawarkan satu kerja konkret selain berbuih-buih mengatasnamakan kelompok buruh dan TKW mendemo pemerintah.

Saya memang naif dalam menyikapi hal tersebut. Jadi apakah ada yang salah dengan bersikap naif dan sekaligus mencurigai kerja-kerja teman-teman yang pintar di luar sana dalam mengkoreksi negara?
Saya curiga, benarkah itu kerja untuk masyarakat kelas bawah atau hanya untuk esksistensi yang pada akhirnya jatuh juga pada satu tujuan permainan misi ke istana?
Hei Bung, masih banyak dari kita yang lebih senang mengendarai mobil pribadi daripada kendaraan umum yang ditawarkan. Saya sendiri masih demen pake taksi daripada naik bus. Banyak copet sih! eit, bukan sampah yang saya bicarakan, karena saya pernah menjadi korban pencopetan beberapa kali.

NEOLIBERALISME…
Saya kira, saya lebih senang jatuh di tangan penjahat baik hati dibandingkan jatuh di tangan pahlawan kesiangan…

Pada masa terpilihnya kembali SBY menjadi presiden RI, isu yang ramai dibicarakan adalah neoliberalisme. Saat muncul tulisan NEOLIBERALISME di spanduk-spanduk kampanye di masa kemarin, benarkah masyarakat kita paham benar dengan kondisi dan tawaran yang ada? Neoliberalisme yang dianggap seorang penulis buku [Neoliberalisme dan Restorasi Kelas Kapital] sebagai kapitalisme liar dan lebih berbahaya dari sekedar kapitalisme lantas dikait-kaitkan dengan permainan tingkat tinggi beberapa terdakwa. Boediono yang kemudian menjadi wakil SBY, banyak mendaoatkan dampak dari isu yang digelintirkan tersebut. Banyak dari media kita dengan seluruh kepentingannya mempermainkan asumsi masyarakat dengan sewenang-wenang.

Pada akhirnya…
Kalau masalahnya hanya soal menggulingkan pemerintahan dan mengahncurkan negara, saya kira tidak perlu dengan mengatasnamakan kelompok tertindas untuk mendapatkannya. Kalau masalahnya hanya ingin menjatuhkan sistem yang sedang berlangsung [bukan koreksi demi perubahan yang-dianggap- lebih baik] tanpa menawarkan solusi konkrit dan mengajukan siapakah yang memang benar-benar bisa menjadi lokomotif perubahan yang diharapakan seluruh masyarakat yang dilanda penyakit komplikasi dan kronis ini ya ndak usah mengatasnamakan semangat nasionalisme. TUNGGU DULU, nasionalisme yang mana?
tentu bukan tugas saya pagi ini untuk menjawabnya…

Yogyakarta, 6 Januari 2010

 
Leave a comment

Posted by on January 8, 2010 in Catatan Hari Ini, Essay

 

Tags: , ,

flying for a moment

.: when your call did not come, he asked me a question….

Begini, katakanlah muncul seorang laki-laki berumur dengan dua anak manis bermata biru yang bisa saja menjadi adik-adik kecil yang menyenangkan. Muncul begitu saja dengan pesan-pesannya untuk mengingatkan bahwa keduanya pernah berjumpa. Dari sekadar; “I wonder if we could stay in touch… maybe its too much to ask for.” juga, “its lovely to get your message, could not help go see your pictures yet again. My question is WHY?”

Serupa tokoh-tokoh dalam cerita Harlequin. Lelaki bermata dingin dengan tubuhnya yang athletis tengah bermain-main api dengan seorang perempuan dari jauh yang tak kenal red wine selain cukup mendengar nama saja. Tak pernah sekalipun menginjakkan kakinya di ladang-ladang luas di Brazil ataupun Argentina. Tidak pernah menonton adu banteng di Sevilla Spain. Tidak berfoto dengan cara aneh di Taj Mahal. Tidak memiliki rumah dekat Georgia Waterfall yang dipamerkan dalam sebuah foto dengan dua anaknya dan orangtuanya yang nampak berbahagia. Juga pesta-pesta Santo Thomas ala cowboy dengan tarian dan api unggun yang memamerkan gadis-gadis bermata kelam yang menggoda.

Para tokoh dalam cerita Harlequin selalu serba terlalu. Terlalu kaya. Terlalu pintar. Terlalu berpengalaman dalam banyak hal. Terlalu tampan dengan kemeja santai maupun jas dari perancang kenamaan yang dimiliki dunia. Terlalu banyak digoda perempuan -bermain dengan perempuan?- terlalu dekat dengan pistol dan senapan. Terlalu senang berpetualang ke banyak negara selain mengurus perusahaannya sendiri.

Begitupun lelaki ini. Yang mengirimkan buket mawar meski berjarak ribuan kilo untuk si perempuan mungil. Tentu saja, perempuan itu tidak lantas merasa sedang didekati, laki-laki ‘terlalu’ semacam dia tak mungkin suka berlama-lama apalagi bertahan dengan satu perempuan saja. Jangankan tergoda, tertarik juga tidak. Jadi, perihal laki-laki ‘terlalu’ yang kemudian jatuh cinta dengan perempuan yang jauh dari tempatnya hanya karena sekali pernah berjumpa untuk mendiskusikan suatu hal kecil itu hanya ada dalam Harlequin semata. Bukan di kisah nyata. Serupa Cinderella, kisah-kisah manis hanyalah cerita yang pantas dibangun sebagai mitos dan hiburan saja.

Sementara tokoh perempuan yang dicintai si laki-laki ‘terlalu’? Biasanya seorang pembantu di rumahnya, pengasuh anak-anaknya yang menderita karena perceraian, sekretaris di kantor, atau paling banter seorang jurnalis dari sebuah stasiun tv yang mencari berita darinya. Saya ingat, ada juga di antara para tokoh itu seorang penulis yang memiliki tubuh yang tak lebih sexy dibanding tokoh-tokoh lain yang muncul di buku tersebut. Kalau tidak salah ditulis oleh Nora Roberts. Saya lupa.

Nah, tokoh perempuan yang penulis dalam buku itu. Tidak semampai, bahkan mungil menurut Nora Roberts. Memiliki tatap mata yang tajam namun sering nampak kosong. Bola matanya coklat dengan rambut masai yang seolah dibiarkan tak terawat. Penyendiri serta gemar membaca. Tentu berbeda dengan si tokoh laki-laki yang melihat sendiri segala tempat indah dan menarik di dunia dengan mata kepalanya sendiri, dia cukup hanya -mampu- melalui gambar dan tulisan di buku-buku itu.

SATU lagi; TAK berpengalaman dalam urusan cinta, apapun musimnya. Konon kabarnya sangat misterius, sukar dipahami, dan sangat menggugah perasaan ingin tahu. Ini juga kata si laki-laki ‘terlalu’.

Oh, apakah ini serupa tantangan? permainan semacam petualangan yang akan secepatnya melahirkan rasa bosan? Maka si laki-laki akan bilang; “Well, listen to me, it’s sound you are like the pessengers of the wrecked ship were hopeless. Man must adjust himself to conditions around him in order that he could survive.”

Jadi begitulah menurut si laki-laki yang serba ‘terlalu’ ini, sekian kali dia pernah melihat perempuan itu, meski cukup sekali bisa mengajaknya diskusi di suatu tempat. Sayangnya, perempuan itu lupa, sesekali saja dia ingat tapi secepatnya dilupakan.

Maka bila dalam sehari, perempuan itu menerima telepon untuk kesekian kali dengan ataupun suara sekretaris si laki-laki terlebih dulu yang bicara. Perempuan itu selalu tersenyum; karena jelaslah baginya bahwa dongeng sebelum tidur tak harus dipercaya dalam dunia nyata. Tokoh-tokoh SERBA terlalu tak akan pernah jatuh cinta pada perempuan semacam dia. Kalaupun tertarik itu hanya untuk hitungan hari dan akan segera berakhir begitu tokoh laki-laki berhasil menarik pelatuk kecil di pistolnya.

Yogyakarta. 17Agustus2008

 

Tags: ,

Kinda Creams Which are Contending For a Spongecake

.: untuk S, R, dan para kekasih yang lainnya.

Pagi tadi bayi kecil berumur 3 tahun itu dadanya membengkak. Jamur sialan memenuhi paru-parunya. Bapak dan Ibunya menangis. Itu sudah jam 6 lebih sedikit, saat saya seperti kesal pada diskusi-diskusi yang lewat dan mungkin kekasih saya masih lelap.

Saya memang bukan siapa-siapa, tapi saya tahu saya terluka melihat -lagi- virus HIV/AIDS akan merebut seorang lagi dari saya. Seseorang yang karena senyum dan cara bercelotehnya telah merebut hati saya.
Sekarang, seperti yang sudah-sudah, saya di antara kedua orangtuanya yang masih belia -usianya tak lebih tua dari saya- cemas menunggu kabar-kabar yang bisa saja sangat tidak menggembirakan.

Pertengahan tahun lalu, saya menuliskan ini dan mempresentasikannya dalam sebuah kongres HIV/AIDS di Jakarta. Mungkin ringkasnya seperti ini. Versi yang sudah saya edit hilang entah kemana.

With many of the existence of institutions which cope with HIV/AIDS, has brought a certain effect towards the local society and ODHA (Orang dengan HIV/AIDS/ People who are living AIDS), particularly. Positive effects of those existences perhaps had already been revealed by those institutions themselves. Nevertheless, as an outsider, I will propose some of the less pleasant to be heard.

Some rumors that have been spread on the contending for coverage in KD (Kelompok Dampingan/ Assisting Groups) in Yogyakarta. Each of the institution has been assuming on owning their KD, furthermore, it is considered as a ‘pamali’ (Sudanese word for ‘taboo’) for other institution to do treatments or assistance within the same coverage and program in the same KD.

Even though there is KPA (Koalisi Penanggulangan Aids), however, discrepancies among those related institutions can be known by common society. Besides, frankly, it is not merely the only problem, from several of those institutions coping with HIV/AIDS, it simply can be assured that they tend to focus on the prevention to the liable society. They forget to provide discourse to the ODHA to help to stop the spreading of HIV/AIDS, which are reflected in their daily activities.

There must be an institution that gives the assistance towards ODHA/OHIDA. Through this institution, ODHA/OHIDA will have some discourses and awareness, which are enough neither to intentionally nor unintentionally spread those viruses to other people. I faced a case in Yogyakarta, where there is a man who is swapping and changing sexual partners continually with the intention to spread the virus to other people/ to each of adolescent he has been seeing with. There is also a friend of mine who is HIV positive and actively working without informing his/her health condition to his/her clients. To me, this is undoubtedly unethical and harmful behavior!

With the institution which focus on this condition, I think the tackling of HIV/AIDS will be coordinated and achieved. There is also importance in performing a study of case on the difference, which quite significant, between ODHA in assistance (from institution) and those who are without assistance. If there is no major difference, though, I think it does not then mean that the judgment of the barren ness of the HIV/AIDS institutions can be assumed true. Because there are many things that already done by peers from the institutions with or without the society’s (including my) awareness.

With many of the existence of institutions which cope with HIV/AIDS, has brought a certain effect towards the local society and ODHA (People who are living AIDS), particularly. Positive effects of those existences perhaps had already been revealed by those institutions themselves. Nevertheless, as an outsider, I will propose some of the less pleasant to be heard.

Some rumors that have been spread on the contending for coverage in KD (Assisting Groups) in Yogyakarta. Each of the institution has been assuming on owning their KD, furthermore, it is considered as a ‘pamali’ (Sudanese word for ‘taboo’) for other institution to do treatments or assistance within the same coverage and program in the same KD.
Even though there is KPA, however, discrepancies among those related institutions can be known by common society. Besides, frankly, it is not merely the only problem, from several of those institutions coping with HIV/AIDS, it simply can be assured that they tend to focus on the prevention to the liable society. They forget to provide discourse to the ODHA to help to stop the spreading of HIV/AIDS, which are reflected in their daily activities.

There must be an institution that gives the assistance towards ODHA/OHIDA. Through this institution, ODHA/OHIDA will have some discourses and awareness, which are enough neither to intentionally nor unintentionally spread those viruses to other people. I faced a case in Yogyakarta, where there is a man who is swapping and changing sexual partners continually with the intention to spread the virus to other people/ to each of adolescent he has been seeing with.
With the institution which focus on this condition, I think the tackling of HIV/AIDS will be coordinated and achieved.

(herlinatiens, Kongres Nasional II 2007, Lido-Jakarta. 2007)

 

Tags: , , , , , , ,

Film apa Film?

Semalam dengan mas Kris Budiman (lagi seperti tahun-tahun yang sudah) saya datang ke undangan pembukaan Q Festival. Tapi malam tadi ada juga Grace. Film yang diputar judulnya Perempuan Punya Cerita -kalau gak salah.-

Duh mampus, pikir ane. Tu para perempuan bikin apa sebenarnya ya. Bicara temanya sih yang agak menarik bagian ‘cerita jakarta’ sepertinya. Tentang perempuan yang terinfeksi virus HIV. Tapi saya rasa itu karena si Susan Bahtiar maennya lumayan baguslah. Bukan pada kontens isi film itu sendiri. Gimana ya, Susan cakep sih.

Parahnya yang bagian ‘cerita yogyakarta.’ Pengaruh Iip Wijayantokah? Atau memang saya yang kuper? sampai saya tidak tahu kalau anak-anak SMU di Yogya identik dengan seks bebas, hamil, lotre penentu. Pikir saya, yang goblok penulis skenarionya atau sutradanya atau bagaimana sih?

Kalau saya pikir, kenapa coba cerita yang bagian ‘seks melulu’ musti di bagian ‘cerita yogyakarta’ sementara yang ‘cerita jakarta’ agak sedikit lebih cerdas temanya. Itu pasti akal-akalan si perempuan-perempuan di balik layar. Anehnya, bisa-bisanya ada yang tergila-gila ma ni film. Apa karena adegan2 ‘ah, eh, ah, eh-nya?’

Beruntung, adek bungsu saya (Agustina Candrawati) tidak diperbolehkan sama pacarnya untuk menerima tawaran maen di ‘cerita yogyakarta’ dalam film tersebut. Memang adik saya bukan artis kok. Akhirnya peran itu dimainkan si artis sinetron siapa itu. Tapi tetep dong, lebih cantik dan menarik adik saya..(kekeke, yang ini tidak boleh dipercaya)
(nah ini adek bungsu saya)

Apa benar? perempuan Indonesia terwakili dengan film itu? Lantas kemana larinya cerita-cerita perempuan cerdas yang tangguh, tidak cengeng, pemimpin yang -meski tidak banyak- ada di Indonesia. Konflik-konflik yang dimiliki seorang perempuan -anggaplah pilihan- yang lebih cerdas dan memerlukan pencapaian satu titik kecerdasan. Lho, di Indonesia banyak perempuan cerdas kok, berkuasa, dan tidak bergantung pada satu kebijakan atau putusan laki-laki.

Seolah-olah, dari film itu tampaklah betapa seks, ketertindasan, kebodohan, korban keganasan lelaki, dan kemelaratan melulu yang ada di otak dan sekeliling perempuan Indonesia. Dih..menyedihkan -filmnya tentu saja.-

Tapi baguslah, saya terharu melihat mbak Susan Bahtiar menahan perih saat harus meninggalkan anaknya. Lantas bagaimana dengan Ayat-Ayat Cinta? Nah, ulasan tentang Ayat-Ayat Cinta buka di http://antikris.multiply.com

Tapi saya tetap salut dengan semua karya yang lahir dari tangan-tangan manusia Indonesia, sangat. Itu intinya…

(Lebih daripada itu saya pikir teknik yang saya kira hebat ini ternyata saya curigai meniru pilem Things You Can Tell Just by Looking at Her yang diproduksi tahun 1999)

Yogyakarta 21 April 2008

 
17 Comments

Posted by on April 21, 2008 in Catatan Hari Ini, Essay

 

Tags: , , , , ,

perihal mimpi

; jangan percaya ini

Mengapa ada seseorang yang percaya bahwa mimpi adalah pertanda, sementara yang lainnya menganggapnya sebagai hiburan tengah malam?
Saya mungkin seseorang yang berada di tengah-tengahnya. Ada saatnya saya menganggap mimpi-mimpi itu sebagai kembang tengah malam saat lelap, yang seringkali terlupa begitu saja saat mata saya terbuka.

Kejadian dalam mimpi biasanya mustahil terjadi dalam dunia nyata, dan di luar kuasa si pemimpi. Perkecualiannya adalah dalam mimpi yang disebut lucid dreaming. Dalam mimpi yang demikian, pemimpi menyadari bahwa dia sedang bermimpi saat mimpi tersebut masih berlangsung, dan terkadang mampu mengubah lingkungan dalam mimpinya serta mengendalikan beberapa aspek dalam mimpi tersebut.

Kalau dihitung-hitung saya tidak lebih dari sepuluh kali sedemikian memikirkan mimpi-mimpi saya. Mimpi-mimpi itu terjadi begitu saja. Kehilangan pacar salah satunya setelah bermimpi menemani si dia menembak seekor burung kecil di dalam hutan. Dalam kehidupan senyatanya, saya juga begitu terpengaruh oleh buku Paulo Coelho, khususnya The Alchemist. Sebuah novel spiritual yang menceritakan perjalanan seorang bocah Santiago dalam mengejar mimpi-mimpinya. Tentu saja juga cara dia menghitung pertanda pada gadis gurun bernama Fatimah. Aih, romantisnya…

Analisis mimpi yang digunakan oleh Freud dari pemahamannya bahwa mimpi merupakan pesan alam bawah sadar yang abstrak terhadap alam sadar. Pesan-pesan ini berisi keinginan, ketakutan dan berbagai macam aktifitas emosi lain, hingga aktifitas emosi yang sama sekali tidak disadari. Sehingga metode Analisis Mimpi dapat digunakan untuk mengungkap pesan bawah sadar atau permasalahan terpendam, baik berupa hasrat, ketakutan, kekhawatiran, kemarahan yang tidak disadari karena ditekan oleh seseorang. Ketika hal masalah-masalah alam bawah sadar ini telah berhasil di-ungkap, maka untuk penyelesaian selanjutnya akan lebih mudah untuk diselesaikan.

Lantas bagaimana jika mimpi begitu susah diartikan? semacam pergi ke gunung dengan seseorang yang tak dikenal. Berulang kali mimpi dikejar ular. Mematahkan dan membunuh sekelompok ular dengan menggigitnya. Padahal aduh, dalam dunia nyata saya paling takut dan jijik pada ular. Melihatnya melintas di depan saya saja lutut saya bisa langsung lemas ndak karuan.

Sigmund Freud berpendapat bahwa dalam mengutarakan mimpi, seorang penafsir haruslah memberikan perhatian yang penuh, bersungguh-sungguh dan tidak terburu-buru. Kemudian, seorang penafsir juga harus berusaha mencari tabu semua hal yang berhubungan dengan gambaran atau isi mimpi serta pelaku mimpi secara komprehensif. Kemudian terdapat juga kesamaan tentang kamampuan atau pengetahuan yang harus dikuasai oleh seorang penafsir mimpi. lbnu Sirin, seorang pemikir besar dengan latar muslim dari Timur juga sependapat dengan Sigmund Freud bahwa seorang penafsir mimpi harus menguasai ilmu tentang Bahasa. tentang makna kata, derivasi kata, dan kata-kata
kiasan maupun pribahasa sehingga mengetahuitentang kondisi dan kebiasaan serta budaya yang berlaku pada masyarakat atau daerah setempat.

Nah, bisa jadi mimpi digelung ular serupa yang saya alami ini berbeda maknanya dengan seseorang di tempat lain yang bermimpi sama.

Pengertian akan mimpi memang masih sangat membingungkan bagi sebagian orang. Namun demikian dari analisis yang disampaikan oleh Sigmund Freud kita bisa menemukan dua jenis mimpi yang terjadi pada manusia. Ada perbedaan perngertian mimpi, antara orang sekarang dengan orang-orang jaman primitif. Meskipun masih juga banyak orang mempercayai bahwa mimpi mempunyai aspek supranatural atau mistik, sebagaimana yang diyakini oleh orang-orang primitif.
Pengertian mimpi yang pertama bisa kita pahami menurut Aristoteles bahwa mimpi tak lebih dari persoalan psikologis. Mimpi bukanlah ilham dari dewa, dan juga tidak ada kaitanya dengan hal-hal yang berbau kedewaan, tetapi sebaliknya dari sifat-sifat kejam atau jahat.

Hal ini berbeda dengan pandangan Aristoteles, penulis-penulis jaman sebelumnya tidak memandang mimpi sebagai suatu produk jiwa malainkan ilham yang berasal dari dewa (devine orgin). Oleh karena itu manusia jaman purba membedakan mimpi sebagai berikut; Pertama, mimpi yang nyata dan berharga, diturunkan pada si pemimpi sebagai peringatan atau untuk meramalkan kejadian-kejadian dimasa depan. Kedua, mimpi yang tak berharga, kosong dan menipu, bertujuan untuk menyesatkan atau menuntun si pemimpi pada kehancuran. Jadi jelas, dari kedua pengertian ini, kita menjadi sadar akan adanya makna yang terkandung dalam mimpi. Meskipun tetap dipahami juga bahwa tidak semua mimpi memiliki makna yang berkaitan dengan kehidupan kita.

Saya menyukai salah satu referensi tentang mimpi yang berkaitan dengan Enuknia (insomnia), yang secara langsung mereproduksi rangsangan yang diberikan atau pun sebaliknya. Merangsang secara berlebihan, seperti mimpi buruk menentukan atau mempunyai korelasi yang pasti dengan masa depan. Termasuk di dalammnya adalah pemberitahuan tentang kejadian-kejadian di masa depan (orama, visio). Nyatanya, konsep inilah yang sudah berabad-abad menjadi kepercayaan manusia.

Freud sendiri memegang teguh pendiriannya atas teori mimpi. Meskipun Ia mengakui akan adanya kesulitan di dalam membuktikan gagasan-gagasannya itu. Ia tetap berkeyakinan akan adanya beberapa titik terang bahwa mimpi bisa dipengaruhi oleh kondisi fisik dan pengalaman alam sadarnya. Mimpi hanya reaksi tidak teratur dari fenomena mental yang berasal dari stimulasi fisik. Freud mencontohkan seseorang yang sedang tidur kemudian ia bermimpi sedang minum. Maka sudah bisa dipastikan bahwa pada saat itu ia sedang merasakan kehausan. Saya belum memiliki alasan yang cukup kuat untuk sepenuhnya setuju pada pendapat ini. Kenyataannya saya sedang tidak memikirkan ular saat saya bermimpi digelung ular hitam semalam itu.

Sebenarnya pada banyak hal, banyak dari teori-teori Freud yang saya kurang sepakati pada penjabarannya, bukan pada pengantar dan perawalannya. Misalkan psikoanalis saya cenderung sepakat, tapi kemudian ada beberapa klik yang membuat saya menganggap Freud seorang pandir dan sok pintar.

Pada dasarnya hakikat mimpi bagi psikoanalisis hanyalah sebentuk pemenuhan keinginan terlarang semata. Dikatakan oleh Freud (dalam Calvin S.Hal & Gardner Lindzaey, 1998). Oh, tentu saya tidak menyepakatinya. Tidak ada seorangpun yang melarang saya ke gunung, bahkan banyak yang mengajak saya mendirikan tenda-tenda bersama-sama. Lantas mengapa saya bermimpi sedang berjalan di setapak dalam hutan di gunung?

Sejak zaman Babilonia. Aflatun, Aristu, Cicero, Kitab Injil, Shakespeare, Goethe dan Napoleon percaya bahwa ada mimpi-mimpi tertentu yang meramalkan sesuatu di kehidupan mendatang. Tidak ada apa pun yang muncul dalam mimpi secara kebetulan, tiap gambaran adalah lambang yang dihargai yang merujuk kepada kehidupan dan fikiran yang paling dalam.

Atau, yang paling tepat sebenarnya adalah, saya mencoba menjabarkan mimpi-mimpi yang datang pada saya dengan cara saya sendiri. Saya tidak lantas menganggap semua mimpi adalah pertanda. Tapi saya tahu, salah satu mimpi saya akan selalu berkelanjutan mengajari saya bersiap menerima segala hal yang akan sampai pada saya.

Esok hari, saat saya serupa naga, saya tak akan lagi bermimpi tentang ular!

 

Tags: , , , ,