RSS

Monthly Archives: January 2010

Sejak Kapan Negara HARUS PEDULI pada masyarakat? 2

; salah satu tugas paper di kelas Teori-teori Budaya

Pak Roem, memangnya ada yang salah kalau sekolah menjadi candu bagi banyak orang….

MANUSIA SEHARUSNYA INGIN DAN BUTUH PERGI KE SEKOLAH
Mencermati kebiasaan-kebiasaan masyarakat Indonesia yang terkena sindrom PROTES, LAWAN dan SERANG pada banyak hal mungkin harus disikapi dengan sedikit lebih nakal. Pendeknya mencoba menakali manusia nakal dengan pikiran nakal. Salah satunya tentu saja tentang tuntutan masyarakat Indonesia pada pendidikan gratis atau sekolah gratis.

Banyak di antara aktifis pejuang hak asazi manusia sekaligus praktisi pendidikan yang menganggap keputusan pemerintah untuk mencanangkan wajib belajar adalah semata-mata kepentingan ekonomi dan politis semata. Selain karena akan adanya anggaran pemerintah untuk sejumlah sarana dan prasarana yang dikelola oleh beberapa gelintir orang dalam pemerintahan. Juga akses yang dianggap terlalu sulit bagi yang tidak memiliki uang, jelas di sini masyarakat kelas bawah. Pada akhirnya, banyak yang menganggap wajib belajar tidak lebih dari salah satu cara penghisapan kelas dalam tataran ekonomi oleh negara terhadap masyarakat, selain juga mem-panoptikonkan dalam satu penjara baru.

Untuk meningkatkan pembangunan suatu bangsa diperlukan critical mass di bidang pendidikan Hal ini membutuhkan adanya persentase penduduk dengan tingkat pendidikan yang memadai untuk mendukung pembangunan ekonomi dan sosial yang cepat. Program pendidikan dasar sembilan tahun merupakan salah satu upaya pemerintah untuk mewujudkan critical mass itu dan membekali anak didik dengan ketrampilan dan pengetahuan dasar: untuk melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi, untuk bekal menjalani kehidupan dalam masyarakat, untuk membuat pilihan-pilihan dan memanfaatkan produk-produk berteknologi tinggi, untuk mengadakan interaksi dan kompetisi antar warga masyarakat, kelompok, dan antar bangsa. Target. Target MDG adalah menjamin bahwa sampai dengan 2015, semua anak, di mana pun, laki-laki dan perempuan, dapat menyelesaikan sekolah dasar. Target itu sejalan dengan target Program Wajib Belajar Pendidikan Dasar Sembilan Tahun, yaitu meningkatkan partisipasi pendidikan dasar dengan indikator kinerja pencapaian.1

Adakah yang salah dengan suatu rekayasa sosial dari negara? Misalkan jelas tujuannya untuk kebaikan bersama? Sebuah perubahan masyarakat dalam mencapai bangsa yang madani. Bagi saya kemudian, mengatur masyarakat yang masih dipenuhi dengan orang-orang membabi buta harus dengan sedikit aturan yang lebih keras dan paksaan! Lantas kapankah sekolah akan menjadi suatu budaya dan kebiasaan bangsa kita? Tanpa adanya paksaan dan polisi atau pengawas berupa program Wajib Belajar dari negara.
Habitus adalah sebentuk kebiasaan sosial, tetapi supaya lebih jelas ada baiknya sedikit menjernihkan pemahaman tentang habitus. Akademisi yang selama ini dikaitkan dengan konsep habitus atau kebiasaan sosial adalah Pierre Bourdieu, seorang sosiolog Perancis yang hidup tahun 1930-2002. Dia mengatakan bahwa habitus adalah “Systems of durable, transposable dispositions, structured structures predisposed to function as structuring structures, that is, as principles which generate and organize practices and representations that can be objectively adapted to their outcomes without presupposing a conscious aiming at ends or an express mastery of the operations necessary in order to attain them. Objectively ‘regulated’ and ‘regular’ without being in any way the product of obedience to rules, they can be collectively orchestrated without being the product of the organizing action of a conductor.” 2

Ignas Kleden menarik tujuh elemen penting dari paparan Bourdieu itu, yaitu bahwa
a. Habitus adalah sistem atau perangkat disposisi yang bertahan lama dan diperoleh melalui latihan berulangkali (inculcation).
b. Dia lahir dari kondisi sosial tertentu dan karena itu menjadi struktur yang sudah diberi bentuk terlebih dahulu oleh kondisi sosial di mana dia diproduksikan (structured structures).
c. Akan tetapi disposisi yang terstruktur ini sekaligus berfungsi sebagai kerangka yang melahirkan dan memberi bentuk kepada persepsi, representasi dan tindakan seseorang dan karena itu menjadi structuring structures.
d. Sekali pun habitus lahir dalam kondisi sosial tertentu dia bisa dialihkan ke kondisi sosial yang lain dan karena itu bersifat transposable.
e. Habitus bersifat pra-sadar (preconscious) karena dia tidak merupakan hasil dari refleksi atau pertimbangan rasional. Dia lebih merupakan spontanitas yang tidak disadari dan tak dikehendaki dengan sengaja, tetapi juga bukanlah suatu gerakan mekanistis yang tanpa latarbelakang sejarah sama sekali.
f. Bersifat teratur dan berpola tetapi bukan merupakan ketundukan kepada peraturan-peraturan tertentu. Habitus tidak merupakan a state of mind tetapi a state of body dan menjadi the site of incorporated history.
g. Habitus dapat terarah kepada tujuan dan hasil tindakan tertentu tetapi tanpa ada maksud secara sadar untuk mencapai hasil-hasil tersebut dan juga tanpa penguasaan kepandaian yang bersifat khusus untuk mencapainya. 3

Pemahaman Bourdieu tentang habitus adalah perilaku yang bersifat ‘positif.’ Sebagai contoh adalah habitus antri, mematuhi rambu lalu-lintas, dan lain sebagainya yang selalu diawali dengan pemaksaan dan pengorbanan di awalnya.

PENDIDIKAN BUKAN HAL MURAH
Sekolah Adalah Candu, demikian judul sebuah buku yang ditulis oleh praktisi pendidikan, Roem Topatimasang. Sekurang-kurangnya, buku tersebut mencoba mengkritisi sistem pendidikan yang ada di Indonesia. Bagi yang tidak membaca dengan jeli, mungkin dengan cepat akan berpikir bahwa pendidikan dalam hal ini sekolah, tidak akan pernah menjadi penting dan dibutuhkan bila di Indonesia. Sekolah bukanlah hal penting. Atau memang hanya itu yang ingin disampaikan Roem? Bahwa sekolah adalah omong kosong yang sama sekali tidak berguna!
Karenanya begitu film Denias karya Alenia Production muncul, yang mana menceritakan tentang sosok remaja yang bersemangat dan tergila-gila pada sekolah, banyak tanggapan kurang menyenangkan dan mentertawakan esensi film tersebut. Bagi mereka nilai yang didapat dari film Laskar Pelangi yang diawali dari sebuah novel semi autobiografi karya Andre Hirata jauh lebih masuk akal. Sebab apa? Nampak sungguh bagaimana penulis Laskar Pelangi mengkritisi pemerintah tanpa memberi satu posisi tawar yang cukup beradab pada pemerintah dalam hal pendidikan.

“Kalau pemerintah mewajibkan rakyatnya belajar selama 9 tahun, adalah hal yang baik selama Pemerintah bertanggung jawab atas rencananya. jangan hanya pandai membuat rencana, yang melaksanakan dan membiayainya rakyat juga, itu namanya
BOHOOONG.Mendingan nggak usah pakai program-programan, yang wajib belajarlah, anak asuhlah dan lain sebagainya, tapi akibatnya tetap sama- Mahalnya biaya sekolah, mulai dari uang pendaftaran, uang sekolah, uang, uang,uang apa lagi ya?
Pada saat ini yang penting kita harus belajar menyiasati mahalnya harga pokok sehari-hari, mulai dari 9 bahan pokok, biaya jasa, biaya berobat dengan uang gaji yang malu-malu untuk mengikuti trend harga dipasaran, jelasnya ya kita wajib belajar terus menerus, bukan hanya 9 tahun.”

Tulisan itu saya dapatkan di sebuah akun pribadi seseorang, dan saya kira ada banyak orang di Indonesia memiliki pendapat yang sama dengan tulisan tersebut. Nampaknya perihal pendidikan selalu menarik bagi banyak orang untuk membicarakannya. Masa jatuhnya orde baru banyak tokoh politik meneriakkan sekolah gratis bagi masyarakat.
Dengan senang hati, saya akan memposisikan diri sebagai seseorang yang meyakini bahwa pendidikan bukan barang murah-an-, meski pendapat itu tidak lantas membenarkan bahwa pendidikan harus mahal. Tentu saja yang saya maksud di sini adalah pendidikan formal akademis yang dinamakan sekolah. Ada lagi satu kutipan yang menarik dari seorang praktisi pendidikan,

Pendidikan tinggi ternyata belum mampu menolong bangsa, bahkan menimbulkan persoalan bangsa karena banyak yang tidak mampu terserap lapangan kerja. Di sisi lain banyak lapangan kerja yang terbuka namun potensi yang memasukinya tidak mampu atau tidak mau karena merasa posisinya rendah. Banyak orang berijazah perguruan tinggi dari luar negeri, tetapi keadaan bangsa ini semakin terseok-seok. Apakah ini sebagai bagian dari pola pendidikan yang terjadi yaitu, “examen cultus” dan “diploma jact.” Sehingga menghasilkan kehidupan yang matrealistis jauh dari jati diri bangsa, sebab mengabaikan kebudayaan.5

Kenyataan yang bisa diluhat dalam pendapat Sutomo Parastho tersebut jelas bahwa tujuan awal dari sekolah telah dipelintir sedemikian rupa tidak hanya oleh akademisi, namun juga negara. Selain juga meletakkan pendidikan sebagai sistem yang ambigu dengan daulat bangsa yang dia yakini. Sejak kapan sekolah bertugas menjadikan seseorang mendapatkan pekerjaan? Saya rasa, niat awal sekolah adalah mendidik murid-muridnya untuk mendapatkan ilmu.

Kalau memang urusannya perihal tuntutan harus mendapat pekerjaan, itu tentu tidak bisa lepas/berkesinambungan dengan program-program lain yang dilakukan negara dan tentu saja juga banyak diprotes masyarakat bersama para aktifis dan “orang pintarnya.” Contoh sederhana, yang mungkin naif adalah program KB. Sederhananya dengan kontrol jumlah manusia, bisa jadi negara lebih tidak amburadul dalam mengatur dan memberikan fasilitas terhadap anak-anak bangsanya, dalam hal ini pendidikan tentu saja.
Sebab rupa-rupanya kebiasaan memprotes dan mengadili negara jauh lebih bersifat revolusioner dibanding evolusioner. Tampil sebagai pahlawan bagi rakyat kecil dan kelas bawah dianggap pekerjaan sexy bagi sebagian banyak orang, tanpa mampu memberikan solusi riil dan konkrit terhadap masyarakat dan bangsa. Ya, meski negara tanpa koreksi juga seperti membiarkan kuda kekuasaan berlarian memporandakan kebun dan sawah kita.


SEJAK KAPAN NEGARA HARUS MEMIKIRKAN NASIB BANGSANYA?

Sejak kapan masyarakat menjadi begitu apatis terhadap negara? Sehingga terlampau dilanda penyakit curiga akut terhadap seluruh program dan sistem yang dicanangkan pemerintah? Jawabannya tentu bukan seperti yang dilontarkan orang-orang pintar di dalam kelas yang sibuk menganaktirikan seluruh kebijakan pemerintah dengan balik bertanya, Sejak kapan kami harus peduli ketika hidup kami lebih banyak diacuhkan milik J.F Kennedy. Lantas begitu saja, GOLPUT dan diam adalah perilaku paling alami [bijak?] dari semuanya. Kalau kami bergerak, ada moncong senapan siap memecahkan kepala kami. Karenanya yang tidak sengaja tertembak di sebuah demonstrasi adalah PAHLAWAN Banyak dari kita, andakah itu? yang menganggap negara sebagai kolonialisasi berkedok homo homini lupus. Menganggapnya sebagai mesin penghisap yang tangguh bagi masyarakatnya demi kepentingan sendiri dan atau beberapa gelintir orang.
Atau alih-alih menjelma (mengatasnamakan) perantara lidah rakyat mereka menjadi mesin penyerang yang tangguh untuk merongrong seluruh sistem yang tengah dijalankan negara. Termasuk di dalamnya adalah sistem pendidikan/sekolah. Mengatasnamakan; sekian ribu buruh; sekian ribu petani; sekian ribu nelayan; sekian ribu pengangguran; sekian ribu TKW dengan selembar jawaban itu tadi. Lalu saat anda tidak peduli pada negara, lantas mengapa memaksa pemerintah memberikan sekolah gratis ke anak dan cucu? Kalau kita sendiri membiarkan anak-anak bolos sekolah dan tidak bertanggungjawab pada hak yang diberikan?
Sebab nampaknya, psikologis bangsa tengah didoktrin dengan wacana “psikologis korban” untuk menjadikan mereka lebih pandai memposisikan diri sebagai korban dari seluruh sistem yang berlangsung dan dijalankan negara. Dalam hal ini tentu saja, negara dianggap mutlak sebagai satu-satunya penjahat yang paling dan harus bertanggungjawab terhadap nasib bangsa beserta homo sapiens-nya. Masyarakat kita cenderung lebih paham cara menuntut hak tanpa memikirkan kewajiban dan tanggungjawab yang lebih besar lagi terhadap bangsa dan negara.

SEBAB SEKOLAH ADALAH SEKOLAH
Sekolah atau school diambil dari kata Latin skhole, scola, scolae, (dipakai sekitar awal abad XII) yang secara harafiah berarti waktu luang atau waktu senggang. Dengan demikian agaknya bersekolah pada awalnya tak lain adalah leisure devoted to learning atau waktu luang yang digunakan secara khusus untuk belajar, dimana para orangtua yang saat itu sibuk bekerja di luar rumah menitipkan anak-anak mereka yang biasanya berusia anak-anak dan remaja kepada seorang -yang dianggap- guru untuk mendengarkan cerita dan dongeng.
Plato dan Aristophanes adalah orang-orang yang dianggap pertama kali meninggalkan catatan tertulis mengenai ruang kelas dan sekolah. Pada masanya sekolah pertama di Athena, hanya merupakan tambahan dari suatu program pendidikan yang berfokus pada latihan kemiliteran, musik, atletik dan puisi. Sedangkan untuk membaca, menulis dan berhitung hanya sebagai tambahan saja. Pendidikan di Athena sendiri bersifat tutorial dimana seringkali bersifat erotik. Sampai kemudian terjadi perubahan pada masyarakat Athena dimana pendidikan berubah menjadi pengajaran kelompok.

Lantas kapankah istilah sekolah ini menjadi sedemikian populer di jaman modern ini? Sejauh ini sebagian para ahli percaya, bahwa pendidikan berasal dari beberapa akar peradaban. Salah satu diantaranya adalah peradaban Mesir Sumer, dimana muncul pertama kali berupa ruang kelas orang-orang Mesir Sumer yang dibangun untuk menampung sekitar 30 orang anak. Penemuan ini membawa orang-orang terhadap sebuah spekulasi bahwa ukuran ruang kelas umum di zaman modern mungkin didasarkan atas ruang-ruang kelas dari batu merah dan arsitektur orang-orang Sumer. Jadi pemahaman mengenai masa-masa awal pendidikan dapat dimulai dari Mesir Kuno, yakni sekitar tahun 3000 hingga 5000 sebelum Masehi.

Socrates mengatakan; true knowledge existed within everyone and needed to be brought to consciousness. Pengetahuan sejati ada di dalam setiap orang dan perlu disadari. Pendekatan yang Socrates lakukan adalah dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan penggalian pikiran murid-muridnya dalam memahami makna kehidupan secara lebih mendalam. Bukan pada tujuan untuk membuat para murid mendapatkan pekerjaan di sebuah tempat.

Tentu saja yang juga harus disebutkan secara khusus adalah peran Fiedrich Froebel yang pertama kali membuka kindergarten (Taman Kanak-kanak) di Blankenburg, Jerman yang kemudian konsepnya dibawa ke Amerika.
Dalam 20 tahun terakhir Indonesia telah mengalami kemajuan di bidang pendidikan dasar. Terbukti rasio bersih anak usia 7-12 tahun yang bersekolah mencapai 94 persen. Meskipun demikian, negeri ini masih menghadapi masalah pendidikan yang berkaitan dengan sistem yang tidak efisien dan kualitas yang rendah. Terbukti, misalnya, anak yang putus sekolah diperkirakan masih ada dua juta anak.
Indonesia tetap belum berhasil memberikan jaminan hak atas pendidikan bagi semua anak. Apalagi, masih banyak masalah yang harus dihadapi, seperti misalnya kualifikasi guru, metode pengajaran yang efektif, manajemen sekolah dan keterlibatan masyarakat. Sebagian besar anak usia 3 sampai 6 tahun kurang mendapat akses aktifitas pengembangan dan pembelajaran usia dini terutama anak-anak yang tinggal di pedalaman dan pedesaan.

Anak-anak Indonesia yang berada di daerah tertinggal dan terkena konflik sering harus belajar di bangunan sekolah yang rusak karena alokasi anggaran dari pemerintah daerah dan pusat yang tidak memadai. Metode pengajaran masih berorientasi pada guru dan anak tidak diberi kesempatan memahami sendiri. Metode ini masih mendominasi sekolah-sekolah di Indonesia. Ditambah lagi, anak-anak dari golongan ekonomi lemah tidak termotivasi dari pengalaman belajarnya di sekolah. Apalagi biaya pendidikan sudah relatif tak terjangkau bagi mereka.6

Mungkin saja adalah keharusan, sebuah institusi sekolah bertujuan mempersiapkan Sumber Daya Manusia yang tangguh. Tapi tidak lantas diartikan ‘menjanjikan’ si SDM ini mendapatkan sebuah pekerjaan yang diinginkan setelah merasa cukup mengambil suatu tingkat pendidikan. Karena kesalahan yang membudiaya ini, tidak saja di kalangan masyarakat tapi juga institusi yang menjanjikan “lulus pendidikan anda langsung kerja” membuat masyarakat semakin apatis terhadap sekolah dan negara pada khususnya. Rupa-rupanya belum ada wacana yang memadai apa itu pendidikan dan seberapa dekat hubungannya dengan sekolah.

PENDIDIKAN ITU HARUS, SEKOLAH SALAH SATU CARANYA
Ki Hadjar Dewantara mungkin salah satu dari sedikit tokoh di Indonesia yang cukup konsisten dan serius memikirkan dan memberikan kerja konkrit di dunia pendidikan secara global. Dia juga yang berpendapat bahwa pendidikan kolonial harus diganti dengan sistem paguron yang kemudian dia realisasikan dengan mendirikan Tamansiswa.
Waktu itu Ki Hadjar Dewantara melihat sistem paguron adalah model yang pas dengan kepribadian dan budaya bangsa. Hal ini konon merupakan hasil kontemplasi dia dari pergaulan yang cukup luas dan panjang di dunia politik, pendidikan, seni dan budaya. Lantas apakah di masa sekarang itu cocok dan masih diberlakukan di Indonesia dan Tamansiswa pada khususnya?
Sistem paguron berbeda dengan sistem sekolah. Pada sistem ini, pengajar dan murid berada di satu lokasi yang sama dalam kesehariannya dan berlangsung dalam waktu yang lama. Selama berbulan-bulan, murid yang dititipkan oleh orangtua kepada guru/pamong akan meninggali sebuah asrama. Akibatnya, dari pagi, siang sampai malam, para murid akan bersama dan berada di bawah pengawasan para pamong. Tentu yang model begini tidak lagi dianggap cocok dan cenderung dijauhi masyarakat umum. Kecuali model pesantren yang memang masih diminati kelompok tertentu; umat Islam.

Para pejuan hak asazi manusia tentu akan menganggap bahwa sistem among yang merupakan ide dari Ki Hadjar Dewantara sebagai model Panoptikon gaya baru yang mengatasnamakan pendidikan menyeluruh. Jadi bagaimana dengan sekolah di masa kini yang cenderung lebih demokratis dan tidak mengikat secara menyeluruh? Hanya saja diwajibkan oleh negara.
Pendidikan dasar adalah jenjang pendidikan awal selama 9 tahun pertama masa sekolah anak-anak yang melandasi jenjang pendidikan menengah. Di akhir masa pendidikan dasar selama 6 tahun pertama (SD/MI), para siswa harus mengikuti dan lulus dari Ujian Nasional untuk dapat melanjutkan pendidikannya ke tingkat selanjutnya (SMP/MTs) dengan lama pendidikan 3 tahun. Sektor pendidikan telah menjadi fokus perhatian yang penting di antara para mitra pembangunan dalam dua tahun terakhir, didorong terutama oleh keinginan membantu Indonesia mencapai Tujuan Pembangunan Milenium (MDG). Karenanya menjadi wajar dan harus bagi negara untuk berupaya mencapai tujuan tersebut. Bukankah ini kemudian akan terkait erat dengan maraknya konsep sekolah = harus mendapat pekerjaan setelah lulus di kalangan masyarakat dan praktisi. Meski jelas, ini melenceng dari asal mula sekolah di jaman dulu.
Negara, telah berupaya untuk meningkatkan daya saing nasional dan mengurangi kemiskinan melalui Rencana Strategis Jangka Menengah. Meskipun ya, tentu saja masih dengan banyak kekurangan di sana-sini, ditambah lagi dengan protes dan kemanjaan masyarakat secara luas. Tujuan negara perihal wajib belajar atau pendidikan dasar mustinya menjadi budaya belajar dan kebutuhan bersama. Dimana tujuan ini memberi sifat sosial, karena tujuannya memang untuk kepentingan bersama.

Adanya tujuan sosial jelas menegaskan bahwa habitus seharusnya bersifat positif. Dengan tujuan untuk kesejahteraan bersama itu pulalah, membedakan arti habitus dengan kebiasaan sosial dalam kerangka etika dan sopan-santun. Sebagai contoh adalah saat seseorang memberikan suatu barang/benda dengan menggunakan tangan kanan. Kebiasaan yang cukup umum dalam masyarakat Indonesia ini memang bisa dikatakan sebagai kebiasaan sosial. Memberi dengan tangan kanan dipandang lebih santun meski tidak akan menimbulkan kerugian apabila tidak dilakukan.

Contoh lain adalah kebiasaan memakai dasi di tempat kerja. Kebiasaan sosial yang relatif baru ini juga tidak begitu saja bisa dikategorikan sebagai habitus strictu senso. Nilai yang mau dituju lebih berkaitan dengan kesantunan baru, atau malah sekedar keindahan saja. Bahkan, kalau diperhatikan lebih jauh, malah bisa berarti negatif, karena pakaian berdasi lebih membutuhkan pendingin ruangan daripada pakaian tanpa dasi. Perlu diingat bahwa pemakaian pendingin ruangan yang berlebihan juga menyumbang lebih banyak pada terjadinya global warming! Pada ujung segala permasalahan yang ada, misalkan terjadi sesuatu negara juga yang akan disalahkan.

REKAYASA SOSIAL DALAM PENDIDIKAN ADALAH HARUS!
Dari uraian di atas, makin jelas bahwa kebiasaan memprotes dan menganggap sekolah tidak penting adalah hal yang menyedihkan. Jika kita perhatikan, habitus senantiasa mengandung dimensi sosial atau kebersamaan hidup yang kental. Demikian halnya dengan pendidikan dasar, yang mengacu pada arti penting sekolah. Secara implisit dikatakan bahwa habitus dibentuk dengan pembelajaran yang lama. Dalam hal ini, membudayakan sekolah memang membutuhkan pembelajaran dan proses penyadaran yang lama. Tentu juga dengan adanya pemaksaan, pengorbanan sekaligus pengawasan. Spontanitas manusia adalah spontanitas tidak mau repot, mengingat habitus pada awalnya dijalankan dengan keterpaksaan dan pengorbanan.

Disinilah perubahan sosial yang berujung pada pembentukan habitus memerlukan sebuah rekayasa sosial. Dengan kata lain, rekayasa sosial adalah conditio sine qua non dan seharusnya tidak berarti negatif. Rekayasa sosial yang hampir selalu bersifat struktural adalah sarana bantu manusia untuk mengisi kekurangannya. tentu saja dengan melalui sistem, struktur dan pengaturan yang berimbang. Sebab saya masih percaya, tanpa adanya sistem dan struktur manusia cenderung lebih mudah ditunggani kuda kekuasaan dari dalam dirinya sendiri untuk menjadi anarki bagi sesama.

Berbicara kesempatan, saya kira semua orang memiliki hak yang sama untuk mendapatkan pendidikan di sekolah. Kalau perjalanan mencapai bangku sekolah dianggap begitu kurangajar dan politis-nya, maka kemudian saya menganggap bahwa itu sebuah cara tersendiri dalam belajar -sekolah alami- dan pertarungan sendiri untuk membudayakan sekolah dalam diri saya. Jadi yang gagal dan tidak berhasil melaluinya adalah mereka yang kalah dan kurang tekun membudayakan pendidikan dalam dirinya.
Kalau sekolah hanyalah perkara sepele dalam ranah aktifitas konserfatif dan pembodohan, maka saya lebih senang mengatakan; kalau hal sepele dan konserfatif saja anda tidak bisa menyelesaikannya bagaimana bisa anda melakukan pekerjaan yang tidak sepele kawan!

__________________________________________________
1. Laporan Perkembangan Pencapaian Tujuan Pembangunan Milenium Indonesia, yang dimuat dalam situs Bappenas. http://www.bappenas.go.id/get-file-server/node/1202/
2. Pierre Bourdieu, seorang sosiolog Perancis yang hidup tahun 1930-2002. Menuliskan dalam bukunya yang berjudul The Logic of Practice.
3 .(http://XXXX.blogspot.com, sebuah forum diskusi yang saat itu sedang membicarakan sistem pendidikan di Indonesia. Tidak berebda dengan situs-situs lain yang banyak mencurigai dan memprotes seluruh kebijakan pemerintah (negara) dalam blog inipun hampir seluruh pesertanya menganggap bahwa program pemerintah tentang wajib belajar hanya menyusahkan mereka. Karenanya mereka menganggap bahwa sekolah itu tidak perlu!
4.Tulisan Sutomo Parasthoini tentu saja disinyalir dari pidato Ki Hadjar Dewantara sewaktu memberikan pidato pengukuhan peneriman gelar Doktor Honoris Causa dari Universitas Gajah Mada, pada tanggal 7 November 1956. Hal ini saya rasa begitu ganjil dan paradoks dengan tujuan dari sistem among yang dianut paguron Tamansiswa dimana Ki Hadjar Dewantara sendiri (tentu saja bersama beberapa orang tokoh lain) yang menggagas dan mendirikannya.
5 .Ignas Kleden, “Habitus: Iman dalam Perspektif Cultural Production” dalam RP Adrianus Sunarko, OFM dkk (eds.), Bangkit dan Bergeraklah: Dokumentasi Hasil Sidang Agung Gereja Katolik Indonesia 2005, Jakarta: Sekretariat SAGKI 2005, hal. 361-375.
6. http://www.unicef.org/indonesia/id/education.html. Situs resmi dari UNICEF ini mencoba memberikan pengantar program yang sedang mereka jalankan bersama pemerintah Indonesia berkaitan dengan pendidikan dasar 9 tahun bagi masyarakat Indonesia.

REFERENSI TAMBAHAN:
Anderson, Benedict. Imagined Communities; komunitas-komunitas terbayang. Yogyakarta: INSISTPress. 2001
Bourdieu, Pierre. The Logic of Practice. Stanford: Stanford University Press. 1990
Dwiarso, Priyo dkk. Kebangkitan Pendidikan Nasional; menggali butir-butir pemikiran pendidikan Ki Hadjar Dewantara untuk memaknai kebangkitan nasional. Yogyakarta: Trah Pakualaman Hudyono. 2008
Engels, Frederick. Asal-Usul keluarga, Kepemilikan Pribadi, dan Negara. Jakarta: Kalyanamitra. 2004
Postman, Neil. Matinya Pendidikan; redefinisi nilai-nilai sekolah. Yogyakarta: Jendela. 2002.
Sanderdon, Stephen K. Makro Sosiologi; sebuah pendekatan terhadap realitas sosial. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. 2003
Sudarto, Tyasno. Pendidikan Modern dan Relevansi Pemikiran Ki Hadjar Dewantara. Yogyakarta: Galangpress. 2008
Topatimasang, Roem. Sekolah Itu Candu. Yogyakarta: INSISTPress. 2007

 
1 Comment

Posted by on January 8, 2010 in Essay

 

Tags: , , , , , , , ,

herlinatiens: Sejak Kapan Negara HARUS PEDULI pada masyarakat?

; sebuah tawaran untuk tidak mudah terbakar [setelah membaca sebuah berita di koran pagi ini tentang penggusuran lapak di sebuah ruas jalan].

Sejak kapan negara harus bertanggungjawab terhadapat masyarakatnya [yang terlampau kronis mengkeparatkan negara]? dan sejak kapan masyarakat menjadi begitu apatis terhadap negara?
Jawabannya tentu bukan seperti yang dilontarkan orang-orang pintar di dalam kelas yang sibuk menganaktirikan seluruh kebijakan pemerintah dengan balik bertanya: SEJAK KAPAN KAMI HARUS PEDULI KETIKA HIDUP KAMI LEBIH BANYAK DIACUHKAN milik J.F Kennedy.

Lantas begitu saja, GOLPUT dan diam adalah perilaku paling alami [bijak?] dari semuanya.
Kalau kami bergerak, ada moncong senapan siap memecahkan kepala kami.
Karenanya yang tidak sengaja tertembak di sebuah demonstrasi adalah PAHLAWAN [yihaaa, are you kidding me darling?]

Banyak dari kita, andakah itu? yang menganggap negara sebagai kolonialisasi berkedok homo homini lupus. Menganggapnya sebagai mesin penghisap yang tangguh bagi masyarakatnya demi kepentingan sendiri. Saya sendiri manusia yang butuh aturan, terlepas hanya sebatas aturan yang saya buat sendiri. Masalahnya saya sendiri sering lupa, apakah aturan itu mengganggu orang lain atau tidak…bayangkan misal seluruh rakyat Indonesia [yang terlampau saya cintai ini] sama seperti saya, apa ndak saling bunuh ini orang??? Karenanya saya butuh sebuah aturan yang mengikat. Meski itu bukan berarti dipanoptikonkan…

Atau alih-alih menjelma [mengatasnamakan] perantara lidah rakyat menjadi mesin penyerang yang tangguh untuk merongrong seluruh sistem yang tengah dijalankan negara. Mengatasnamakan; sekian ribu buruh; sekian ribu petani; sekian ribu nelayan; sekian ribu pengangguran; sekian ribu TKW dengan selembar jawaban itu tadi. Lalu saat anda tidak peduli pada negara, lantas mengapa memaksa pemerintah memberikan sekolah gratis ke anak dan cucu? Kalau kita sendiri membiarkan mereka bolos sekolah dan tidak bertanggungjawab pada hak yang diberikan? Nah lhoh, itu baru sekolah sedikit dikasih subsidi, bayangkan kalau murah pula. APALAGI gratis…yg bener aja bung!
Hei Bung, pendidikan bukanlah barang murah[an], meski tidak lantas saya membenarkan sebagai suatu kemewahan…

Taufik Ismail, seorang penyair yang konon tidak pernah dipenjarakan di jaman Orde Baru ini entah oleh apa, kurang dari setahun paska jatuhnya ORBA segera mengeluarkan buku berjudul MALU AKU JADI ORANG INDONESIA. Kelak saya berharap ada antologi syair yang lebih manis dengan judul BANGGA SAYA MENJADI ORANG INDONESIA.

Sebagian dari anda mungkin akan bertanya, Indonesia sebelah mana? Indonesia itu apa? ah yang benar. Jangan-jangan itu hanya klaim anda sebagai bangsa yang merasa menjadi bangsa penerus. Penerus kolonial mana?

Menjadi komentator dan korektor menempati timbangan yang sama gampangnya dengan menjadi koruptor.
Sejak orang-orang pintar makin pandai mengkoreksi dan memberikan nilai ZERO pada negara, tanpa menawarkan satu penguat yang solid bagi keutuhan bangsa [tunggu dulu jangan tergesa marah dengan bertanya bangsa yang mana?] ya sama aja bohongnya. Main koreksi tanpa menawarkan satu kerja konkret selain berbuih-buih mengatasnamakan kelompok buruh dan TKW mendemo pemerintah.

Saya memang naif dalam menyikapi hal tersebut. Jadi apakah ada yang salah dengan bersikap naif dan sekaligus mencurigai kerja-kerja teman-teman yang pintar di luar sana dalam mengkoreksi negara?
Saya curiga, benarkah itu kerja untuk masyarakat kelas bawah atau hanya untuk esksistensi yang pada akhirnya jatuh juga pada satu tujuan permainan misi ke istana?
Hei Bung, masih banyak dari kita yang lebih senang mengendarai mobil pribadi daripada kendaraan umum yang ditawarkan. Saya sendiri masih demen pake taksi daripada naik bus. Banyak copet sih! eit, bukan sampah yang saya bicarakan, karena saya pernah menjadi korban pencopetan beberapa kali.

NEOLIBERALISME…
Saya kira, saya lebih senang jatuh di tangan penjahat baik hati dibandingkan jatuh di tangan pahlawan kesiangan…

Pada masa terpilihnya kembali SBY menjadi presiden RI, isu yang ramai dibicarakan adalah neoliberalisme. Saat muncul tulisan NEOLIBERALISME di spanduk-spanduk kampanye di masa kemarin, benarkah masyarakat kita paham benar dengan kondisi dan tawaran yang ada? Neoliberalisme yang dianggap seorang penulis buku [Neoliberalisme dan Restorasi Kelas Kapital] sebagai kapitalisme liar dan lebih berbahaya dari sekedar kapitalisme lantas dikait-kaitkan dengan permainan tingkat tinggi beberapa terdakwa. Boediono yang kemudian menjadi wakil SBY, banyak mendaoatkan dampak dari isu yang digelintirkan tersebut. Banyak dari media kita dengan seluruh kepentingannya mempermainkan asumsi masyarakat dengan sewenang-wenang.

Pada akhirnya…
Kalau masalahnya hanya soal menggulingkan pemerintahan dan mengahncurkan negara, saya kira tidak perlu dengan mengatasnamakan kelompok tertindas untuk mendapatkannya. Kalau masalahnya hanya ingin menjatuhkan sistem yang sedang berlangsung [bukan koreksi demi perubahan yang-dianggap- lebih baik] tanpa menawarkan solusi konkrit dan mengajukan siapakah yang memang benar-benar bisa menjadi lokomotif perubahan yang diharapakan seluruh masyarakat yang dilanda penyakit komplikasi dan kronis ini ya ndak usah mengatasnamakan semangat nasionalisme. TUNGGU DULU, nasionalisme yang mana?
tentu bukan tugas saya pagi ini untuk menjawabnya…

Yogyakarta, 6 Januari 2010

 
Leave a comment

Posted by on January 8, 2010 in Catatan Hari Ini, Essay

 

Tags: , ,

Antara Saya dan Gurita Cikeas

; menanggapi banyak pertanyaan yang dikirimkan pada saya sekaligus munculnya pages dan group Gurita Cikeas di facebook

Mari mencoba bermain-main sebentar. Mencoba mengujikaitkan antara semiotika dengan bahasa media. Buku Gurita Cikeas, rupa-rupanya menjadi satu kajian yang menarik bagi banyak penikmat dan penganut semiotika khususnya dan masyarakat luas. Baik yang me’nyampahkan’ maupun yang memujanya.

Sepulang dari Jakarta, saya mendapatkan buku Gurita Cikeas, buku tersebut berjalan dari Galangpress [yang juga menerbitkan buku-buku saya] melalui sang direktur yaitu Julius Felicanus dan penulisnya yang tak lain adalah salah seorang dosen saya sendiri saat ini, George Junus Aditjondro, ke tangan Ki Tyasno Sudarto [seorang purnawirawan] lalu ke tangan Ki Priyo Dwiarso [sekum di Majelis Luhur] lalu ke tangan saya.

Hari-hari sebelumnya, banyak orang mengirimkan sms dan menelepon saya untuk bertanya perihal buku tersebut, mungkin saja itu dikarenakan pengetahuan mereka perihal kenyataan bahwa saya adalah salah seorang mahasiswa yang diajar George.

Sebelumnya saya sudah katakan di tulisan sebelumnya, bahwa di kelas pertama kami saya menghampirinya dan bicara; Selama kelas saya mual dan cepat-cepat ingin mengakhirinya dengan keluar dari kelas. Nampak sekali betapa keberpihakan terhadap Aceh digambarkan dengan nyata. Bagi saya, LSM tak lebiih dari sekelompok manusia patah hati yang mengatasnamakan komunitas tertentu untuk mereka makan….[dan masih panjang lagi]

George bertanya, “Jadi minggu depan, kau tidak akan ikut kuliah saya lagi herlina?” saya jawab, “Oh justru karena hal itulah, saya akan selalu datang di kelas Bapak.”

Menghadapi George di kelas hampir saja tidak menyisakan ruang perbedaan dengan yang nampak di forum diskusi. Hanya saja, pemotongan tayangan adegan George dan Pohan nampak sekali adanya semacam keberpihakan media terhadap Pohan. Hanya ada sekian detik saja untuk mengarah pada angle utama yang mau dibidik media. Dimana bagi penonton yang tidak tahu persis kejadian di forum launching buku tersebut akan sekonyong-konyong mentertawakan dan mengkeparatkan George sebagai manusia banti kritik. Atau jangan-jangan memang begitu George???

Dalam ranah yang sederhana, semiotika dan bahasa media nampaknya dapat menjadi satu diskusi yang menarik. Bukan saja karena persoalan filosofis mendasar yang acapkali menjadi perdebatan, melainkan juga karena tidak ada jalur tunggal untuk membongkar praktik pertandaan (baca: bahasa) media.

Klaim umat semiotika dalam ayat yang paling sederhana adalah: bahwa di BALIK BAHASA MEDIA seringkali menyimpan/mengandung tanda misterius. Dan terpujilah para guru besar SEMIOTIKA, dimana semiotika dipercaya sebagai salah satu jembatan untuk menangkap dan menelanjangi kemisteriusan tersebut.

Konsep mengenai representasi hadir menempati tempat baru dalam studi budaya. Dalam kaitannya dengan dunia komunikasi, secara spesifik Alan O Connor menggambarkan budaya sebagai proses komunikasi dan pemahaman yang aktif dan terus-menerus. Artinya kemudian menjadi jelas bahwa masing-masing pemaknaan orang tentang budaya akan sangat tergantung pada pemahaman subyektif antaraktor atau subyek di dalam lingkungan kebudayaannya. Dalam konteks ini, ketika pemberitaan dipandang sebagai produk kebudayaan, maka menjadi penting untuk melihat bagaimana media memproduksi dan mempertukarkan makna melalui praktik bahasanya.

Pada kutub yang berlawanan, sebagian lagi mengatakan bahwa apa yang tersaji dalam media merupakan representasi. Realitas yang tampil di media merupakan hasil konstruksi yang boleh jadi telah mengalami penambahan maupun pengurangan karena turut campurnya faktor subyektivitas dari pelaku representasi alias orang-orang yang terlibat dalam media. MetroTv mungkin akan nampak lebih berpihak kepada George, mengingat relasi kuasa yang ada, dimana ownernya mengalami sedikit gesekan dengan sang aktor dalam Gurita Cikeas yang dimaksud. Lantas bagaimana dengan RCTI dan TVOne? tunggu dulu….sabar sebentar sebelum anda tergesa bilang TVOne jelas lebih netral. Are you kidding me? Kemenangan Bakrie di GOLKAR tentu tidak bisa lepas dengan uji nyali bersama aktor-aktor yang dimaksud dalam Gurita Cikeas.

Tanda [rekaman yang nampak di pembaca] yang dimainkan dengan super serius dari media berkaitan dengan pemukulan George terhadap Ramadhan Pohan jelas telah diolah sedemikian rupa [untuk tidak mengatakan dimanipulasi] oleh media. Hai dude, ini jelas terlepas dari kualitas/benar-salah/dosa-pahala buku Gurita Cikeas.

Jelas kemudian dengan tayangan-tayangan yang disajikan televisi kepada penonton begitu mempengaruhi pendapat dan sikap masyarakat yang melihatnya. Saya perhatikan banyak yang main berpendapat tanpa menyentuh buku Gurita Cikeas apalagi membacanya. SO DARLING what’s going on here? Mau buku itu sebegitu imajiner-nya kalau loe pade belum pada baca ndak usah dulu protes dan mencaci atau memuji dan memuja”Gurita Cikeas” apalagi George dalam ranah ini.

Sudah saatnya berpendapat dengan cara pandang sendiri menghadapai tanda yang sebenarnya, dalam hal ini tentu saja si buku GURITA CIKEAS, bukan pemberitaan-pemberitaan yang seringkali semakin menjatuhkan anda di lorong labirin itu!

salam sayang
herlinatiens

Yogyakarta, 4 Januari 2010

 
Leave a comment

Posted by on January 4, 2010 in Essay

 

Tags: ,