RSS

Mengingat dan Melupakan di Tubuh Jakarta

22 Jun

Judul : Ruang Publik, Identitas dan Memori Kolektif: Jakarta Pasca-Suharto
Penulis : Abidin Kusno
Penerbit : Ombak, Yogyakarta
Edisi : Pertama, 2009
Tebal : xxiv + 210 hlm

Selama bertahun-tahun tak kurang dari 6 tahun, saya merasa cemas terhadap kecemasan saya sendiri setiap kali mendapat tugas dari guru SD saya untuk melihat film G 30/S PKI yang ditayangkan tengah malam pada masa itu. Bagaimana saya tidak cemas? Film itu akan diselingi Berita Dunia yang artinya akan terlalu larut untuk saya berangkat tidur. Tanpa harus diingatkan oleh Ibu, saya akan beranjak dari depan televisi tepat saat tayangan film dihentikan untuk mengikuti berita selama satu jam. Keesokkan harinya saya akan mengeluh tapi tidak bisa berbuat apa-apa selain menerima aturan yang dimainkan dalam keluarga saya.

Begitulah, bagaimana pemerintah melalui TVRI yang pada masa itu merupakan satu-satunya stasiun televisi di Indonesia mencoba memainkan perannya sebagai mesim pengamnesia masyarakatnya dengan menanamkan satu pemahaman bahwa PKI adalah penjahat dan sekaligus cacing yang paling menjijikkan yang harus dijauhi dan dibenci selamanya.

Rupa-rupanya, teknik ini sudah tidak lagi eksis dalam dunia pengamnesiaan sejarah. Suntik amnesia diberlakukan kembali dengan cara memanfaatkan satu ranah yang meskipun berbeda motifnya, tapi memiliki tujuan yang sama.

Kenyataan tersebutlah yang membawa masyarakat Indonesia, khususnya warga Jakarta pada sebuah pertanyaan dasar tentang Jakarta masa kini dalam buku Ruang Publik, Identitas dan Memori Kolektif: Jakarta Pasca-Suharto (selanjutnya disebut JPS) karya Abidin Kusno.
Hal paling umum yang ada dalam benak banyak orang di Indonesia tentang Jakarta adalah bahwa, Jakarta sebagai pusat modernisme, ibukota negara, sebagai pusat ekonomi dan pemerintahan yang berisi gedung-gedung bertingkat, mall-mall megah, apartemen dan rumah mewah juga mobil lalu lalang di jalanan dengan segala jenis merk ,warma, dan jenis yang menyebabkan kemacetan di hampir seluruh jam. Realitas-realitas ini berkelindan dengan realitas lain sebagai imaji tentang dunia kumuh pinggir kali dan berkumpulnya pengemis dan anak jalanan.
Bagaimanapun juga tetaplah satu kenyataan bahwa suatu realitas di Jakarta selalu berjalin kelindan dengan realitas yang lain. Jakarta akhirnya hampir selalu dimaknai sebagai satu realitas tunggal sebagai tempat yang menawarkan kegermelapan dan kemudahan hidup bagi warganya, meskipun menurut penulis Seno Gumira Ajidarma dalam salah satu esainya mengatakan bahwa “kegemerlapan Jakarta adalah cermin kepahitan yang gagal diredamnya.” Wajah kepahitan itu sendiri saya kira bisa dimaknai bermacam-macam, namun kepahitan itu pula yang tergambar, sekaligus berusaha disingkirkan, dalam realitas Jakarta.
Secara garis buku JPS yang berdasar dari penelitian ini menarasikan adanya pertarungan kuasa dalam pembentukan dan tata ketak ruang kota. Bahwa isi, bentuk, dan ruang kota membentuk nuansa politik, kebudayaan, identitas keseluruhan, dan tentu saja memori kolektif kota Jakarta.
Bahwa gedung, bangunan, monumen-monumen dan tata letak kota bukan sekedar benda mati yang mengedepankan suatu cita rasa dan kreasi arsiteknya. Akan tetapi lebih daripada itu, menjadi sarana politis untuk membangun suatu identitas kolektif. Sifatnya yang ambigu dan bahkan kontradiksi, bukanlah sesederhana hitam dan putih dalam proses membangun suatu identitas demi kepentingan legitimasi suatu rezim dan kekuasaan.
Bisa dikatakan, memori dan kota ibarat sebuah koin dengan dualitas sisi yang bersebelahan yang sekaligus juga memiliki hubungan dialektis dimana mengahasilkan urban memory. Hal ini mengindikasikan kota sebagai sebuah lanskap fisik di mana terdapat kumpulan objek dan praktik yang memungkinkan masa lalu dikumpulkan kembali dengan cara menaruhnya pada bangunan kota (Lihat Crinson [ed], 2005: xii). Artinya, memori sebuah kota melakukan “aktivitas” mengingat atau melupakan melalui bangunan yang ada di dalamnya, melalui sekumpulan “objek” dan “praktik” yang dipahami sebagai tempat dan ruang fisik konkret yang ikut menampung dan membentuk eksistensi memori kolektif warga. Dengan demikian, mengutip Rossi, seseorang bisa saja mengatakan bahwa kota itu sendiri merupakan gambaran dari memori kolektif para penghuninya (Harvey, 2003).
Jelas kemudian bahwa kota, dalam hal ini Jakarta, menjadi simbol sekaligus medan untuk mempertemukan, mengadu dan membentuk identitas-identitas yang ada untuk suatu politik identitas yang dimau oleh suatu rezim. Bahwa kota beserta seluruh bangunannya tidaklah sebisu yang masyarakat penghuninya kira.
Buku ini di awali dengan ulasan tentang pembentukan memori kolektif melalui proses “mengingat” dan “pelupaan.” Dengan kata lain memori kolektif muncul dengan adanya pelupaan kolektif. Penurunkan patung Jan Pieterszoon Coen, yang tidak sekedar monumen peringatan, di lapangan Banteng pada 6 Maret 1943, tanpa menghancurkan patungnya adalah usaha dari Jepang untuk membangun ingatan sekaligus pelupaan penghuni Jakarta pada pemerintah Belanda

“Setelah patung dan portal disingkirkan, portal dan pedestal ini menjadi kanvas kosong yang terbuka untuk diisi dengan pesan baru. Masa lalu tidak dihilangkan, tapi dihadirkan dalam bentuk monumen kosong, suatu ruang yang telah dibersihkan untuk menampung kenangan baru. Yang penting di sini bukan bukanlah pembentukkan wacana pelupaan, seakan-akan kapasitas memori itu terbatas sehingga perlu dikosongkan untuk diisi memori baru.” (JPS, 2009: 7)

Jepang berpikir dengan cara ini, masyarakat Jakarta melupakan Belanda dan mengingat Jepang sebagai cahaya baru bagi masyarakat. Hal ini berarti segala ketentuan dan aturan yang pernah diberlakukan oleh Belanda diganti dengan aturan baru dari Jepang. Hal ini juga yang dilakukan oleh Soekarno yang memenuhi ruang kota dengan berbagai monumen dan gedung-gedung mewah. Hal yang serupa juga dilakukan oleh Suharto melalui narasi Lubang Buaya dimana mematikan karakter komunisme dan membangun kerangka keberhasilan dan heroisme militer dalam melindungi masyarakat.

Penguasa Orde Baru dalam hal ini, masa Suharto sebagai lokomotifnya memainkan menarasikan peran Jakarta dalam segala motif kekuasaannya. Jika di era Soekarno Jakarta merupakan medan mobilisasi yang menurut banyak orang dianggap paling masif, di masa Suharto hal ini mencoba dinetralisir untuk tidak mengatakan dipangkas dan dibunuh. Bagaimana citra Soekarno sebagai Penyambung Lidah Rakyat mencoba digeser dengan kesengajaan yang tentu bersifat politis melalui mengganti kata “Bung” Karno dengan sebutan “Pak” Harto. Dalam filosofi Jawa kata Pak tentu merujuk pada istilah Bapak, yang bertugas mengatur dan mendidik anak-anaknya (masyarakat dan negara pada umumnya) agar tidak salah langkah.

Tragedi Petrus (Penembak Misterius) di tahun 1980-an dianggap menjadi shock therapy oleh pemerintahan Suharto. Motif ini umpama metode panoticon, yang bertujuan untuk mendisplinkan tubuh dan perilaku personal/subyek tanpa adanya paksaan maupun pengawasan yang sifatnya berkesimabungan dan mutlak. Melalui tragedi inilah Suharto mencoba menunjukkan kuasa atas kontrolnya terhadap Jakarta.

Memori kolektif menjadi tidak stabil karena terus dibentuk dan bahkan dengan niscaya sangat berbeda dari satu masa ke masa berikutnya mengikuti selera penguasa. Karenanya memori “resmi” seringkali penuh dengan kontradiksi-kontradiksi. Sikap mendua hati dari pengingat akan mudah ditemui, karena simbol-simbol pengingat sekaligus pelupaan juga bersifat ambigu dan ambivalen.
Dari banyaknya kelindan antara memori-memori yang coba dibentuk oleh penguasa dan sekaligus personal miliki sendiri, terdapat memori-memori yang sifatnya jauh lebih sederhana kalau tidak berhasil dilupakan. Memori-memori tersebut seringnya berasal dari ketidakberhasilan pembentukan memori kolektif. Sebagai contoh adalah peristiwa Mei 1998, yang dikenang sebagai peristiwa penuh kontradiksi dari berbagai trauma yang ada. Sehingga bentuk pengingatannya adalah harus mengambil motif/bentuk pelupaan.

Meski konsekuensi yang bisa terjadi dari bentuk pelupaan ini adalah berulangnya pengalaman pahit tersebut. Sebaliknya, ketidakmampuan untuk melupakan konflik yang terjadi (di 1998) juga membuka celah untuk konflik yang lebih dahsyat lagi. Tanpa adanya ruang publik, bukan berarti memori dari suatu peristiwa pahit hilang, tapi bisa jadi suatu komunitas menyimpan dan membentuk memori kolektif di wilayah personal masing-masing. Hal itulah yang menjadikan hubungan antara ruang publik, formasi identitas dan memori kolektif sangat jauh dari sederhana.

“Meskipun keberadaan memori tergantung pada ruang publik dan lingkungan fisiknya ruang publik tidaklah mampu dengan sendirinya membawa dan menyimpan memori. Tapi, sebaliknya, ruang publik ini adalah arena tempat negara dan masyarakat menunjukkan kekuasaannya melalui pemaknaan sosial dan legal.” (JPS, 2009: 35)

Pemasaran ruang kota, pengawasan terhadap budaya kota, pelupaan terhadap konflik-konflik sosial, merupakan sebagian dari realitas yang ikut membentuk memori. Sebagian ada yang tetap hidup dalam ingatan sebuah komunitas, sementara yang sebagian lagi terlupakan. Ilustrasi ini hanya ingin mengatakan: pada awalnya, pelupaan terlihat menakutkan, sementara mengingat terlihat menarik hati. Namun kemudian ternyata, pelupaan menjadi sesuatu mempesona karena ternyata untuk mengingat pun, seorang atau sekelompok orang harus terlebih dahulu melalui jalan pelupaan.
Sebagaimana sebuah representasi, selalu saja ada jarak antara wacana dan realitas yang ada. Representasi selalu berupaya untuk menutup celah yang ada tersebut dengan berbagai macam motif dan bentuk, meskipun kenyataannya tidak selalu berhasil. Bandingkan dengan bagaimana representasi dari negosiasi yang dibentuk pada bangsa Indonesia yang mengalami berbagai macam kekerasan sosial dan traumatis yang apabila seluruhnya diingat akan membuat bangsa tercerai berai.
Negosiasi antara kota dan negara menjadi lebih jelas bila kita memperhatikan bentuk ruang dan fisik perkotaan, sebab jelas bahwa tata letak kota tidaklah sebisu yang kita kira. Kesemuanya itu turut serta dalam membentuk identitas masyarakat di dalamnya dan imajinasi nasional pada umumnya.

Perjalanan era Suharto jelas mencoba menghapus memori kota penguasa sebelumnya dan menciptakan generasi baru yang amnesia sejarah. Politik estetika kota yang ada menunjukkan representasi arsitektur dan perkotaan telah menghasilkan dua kelompok sosial/kelas sosial dalam negara; kelas bawah dan elite kelas menengah. Kedua kategori ini muncul dengan jelas di kerusuhan Mei 1998 yang sekaligus menjadi kehancuran era Suharto sendiri.

Peminggiran memori kolektif masyarakat Tionghoa Glodok atas kerusuhan Mei 1998 dilakukan paska kerusuhan itu terjadi. Catatan kelam dari penjarahan, pembunuhan, dan pemerkosaan perempuan-perempuan Tionghoa sampai saat ini tidak selesai. Apalagi jika kita lihat bangunan megah bergaya modern Glodok Plaza yang sekarang, berdiri begitu angkuh di atas ketidakjelasan sekaligus buruknya nasib para korban kerusuhan.

Kenyataan dari suatu memori kolektif yang diingat maupun dilupakan tidaklah berlangsung secara natural. Pada titik ini kota bisa dimaknai sebagai entitas yang memperlakukan sejarah masa lalu sebagai sesuatu yang diseleksi secara ketat dan tidak sederhana. Melibatkan elemen-elemen lain dimana kekuasaan menjadi pengejawantah utama melalui teknik arsitektur, perencana kota, pengembang, dan seterusnya. Sedangkan realitas kota turut serta membentuk jalinan memori yang meskipun masih akan terus diseleksi hingga bisa “diterima” oleh realitas itu sendiri.

Wacana sub-altern akan kerusuhan Mei ini, diangkat oleh Seno Gumira Ajidarma dalam esai berjudul Jakarta 2039 di majalah Matra, yang pada akhirnya diterbitkan oleh penerbit Galangpress dalam sebuah essay bergambar. Angka 2039 ini menunjuk pada 40 tahun semenjak kerusuhan yang terjadi tersebut. Mungkin seperti pembeberan dokumentasi rahasia di Amerika yang dikeluarkan setelah puluhan tahun kemudian. Disini, SGA mencoba menawarkan suatu kerangka pikir tentang keanehan dan kejanggalan perihal memori kolektif di Indonesia, khususnya Jakarta.

Perubahan sosial-ekonomi pasca Suharto termasuk kebijakan-kebijakan Sutiyoso sangat jelas dirasakan oleh warga Jakarta. Pasca turunnya Suharto, Jakarta menghasilkan kondisi; yang dalam istilah Abidin Kusno disebut sebagai “kelonggaran di pusat.” Kondisi ini menjelaskan tidak adanya pengendali tunggal bagi penguasa kota. Dan Sutiyoso selaku gubernur DKI, memanfaatkan situasi ini untuk mulai menata sekaligus mendisiplinkan warga Jakarta.

Sutiyoso memulainya dengan membangun pagar di Monas. Membersihkan Monas yang dulunya adalah monumen masyarakat dari para Pedagang Kaki Lima, dan menempatkan hewan manis; rusa di area monumen sebagai simbol kemawahan. Kebijakan-kebijakan Sutiyoso ini mendapat pertentangan keras dari masyarakat yang juga memanfaatkan momen “kelonggaran di pusat.” Hal inilah yang menyebabkan Sutiyoso mendapatkan banyak diprotes dari masyarakat Jakarta. Sutiyoso pernah mengutarakan, “Selama masa jabatan pertama saya, antara 1997 sampai 2002, telah terjadi 4538 unjuk rasa yang dilakukan warga Jakarta melawan (kebijakan) saya.” Kelonggaran di pusat ini melahirkan mobilisasi massa yang dianggap tabu di era Suharto.

“…memperlihatkan hubungan antara politik, memori, dan ruang kota. Ia menunjukkan bagaimana pemerintah dan warga kota mengingat dan melupkan Jakarta sebagai pusat kebangkitan dan pembangunan nasional. Memori dalam bab ini mengacu kepada upaya-upaya institusi-institusi yang ingin menata memori kolektif masyarakat untuk keperluan tatanan sosial dan legitimasi politik.” (JPS, 2009: 99)

Kusno dengan gamblang mencoba menarasikan bagaimana memori lama diregulasi untuk membentuk memori baru sebuah kota, dan bagaimana masyarakat menghadapi kebaruan tersebut sekaligus melakukan perlawanan terhadapnya. Bagaimana Jakarta tidak dikawal oleh sesuatu yang sekedar kekuatan ekonomi dan politik yang ada, akan tetapi sesuatu yang lebih kuat dari lagi, yang kenyataannya berhasil membuat penghuninya menjadi orang-orang asing yang terjebak di jurang impian nasionalisme dan realitas kota.

“Seperti dikatakan juga oleh Seno Gumira Ajidarma, di Jakarta setiap orang kelihatannya berasumsi mempunyai tanah kelahiran di tempat lain, dan seperti diungkapkan Sarwono Kusumaatmadja, “penduduk Jakarta tidak mencintai Jakarta sepenuhnya, karena mereka tidak mempunyai ikatan emosi yang mengikat mereka dengan kota asal mereka.” Dengan demikian, bisa kita pahami mengapa urbanisme nasionalis telah diupayakan untuk menjadi musik pemikat yang diharapkan dapat membuat orang mengimajinasikan dirinya sebagai bagian dari kota.” (JPS, 2009: 102)

Setelah bermain-main dengan arsitektur dan tata letak kota, Sutiyoso memberikan kejutan tentang bagaimana menjadi pengguna jalan raya melalui busway. Terlihat bahwa busway diarahkan untuk pendisiplinan lalu-lintas jalan. Kondisi itu bisa dilihat dari bagaimana arsitektural transparan dalam busway, bagaimana mekanisme pengawasan, disiplin berbaris dan antri dari busway. Sehingga, munculnya busway bisa dilihat sebagai metode paling pas untuk menaklukkan perilaku warga Jakarta.
Dari kaca mata Foucault, setiap interior di dalam mall bisa dibaca sebagai usaha pendisiplinan individu yang tentu saja di dalamnya terdapat misi panopticon. Dengan adanya arsitektural, subyek/individu dididik untuk tertib, disiplin, dan teratur dalam kehidupan sosial. Proyek-proyek pendisiplinan tubuh inilah yang digalakkan Jakarta.
Secara sederhana, buku ini berusaha membuka tabir politik Jakarta. Bagaimana pergolakan Jakarta di tangan penguasa satu dengan penguasa sesudahnya. Pembentukan wacana dominan dengan menyingkirkan wacana pinggiran bisa dibaca melalui politik tata letak kota.
Abdin Kusno dalam teks Ruang Publik, Identitas dan Memori Kolektif: Jakarta Pasca Suharto, jelas berpendapat bahwa negara sama sekali tidak memberikan ruang untuk memori-memori buruk dalam kota; Jakarta. Karena tidak memiliki ruang, memori-memori tak berwadah di ruang publik ini harus disingkirkan atau dilupakan.
Sayangnya, buku ini tidak banyak membahas “identitas” sebagaimana judul buku. Hal-hal yang mustinya bisa menjadi titik tolak analisa tidak banyak dielaborasi sebagaimana bahasan ruang publik dan memori kolektif. Bab terakhir buku ini jelas berbicara tentang proyek-proyek megah, mustinya hal ini bisa dikaji sebagai kebutuhan akan identitas elite kelas menengah, sebagaimana yang diulas di bab awal. Karenanya, pembaca tidak akan menemukan ekspresi identitas elite warga Jakarta dalam ranah representasi-representasi yang ada. Kehadiran busway, pembangunan gedung-gedung, rumah, dan perkantoran mewah, serta mall-mall yang memenuhi kota, selain bisa dibaca sebagai usaha untuk legitimasi kekuasaan, saya rasa juga turut serta dalam embentuk tatanan memori kolektif baru yang lebih menjanjikan dan serba modern.

DAFTAR PUSTAKA

Kusno, Abidin. 2009. Ruang Publik, Identitas dan Memori Kolektif: Jakarta Pasca Suharto, Yogyakarta: Ombak
Ajidarma, Seno Gumira. 2004. Affair. Obrolan Tentang Jakarta. Yogyakarta: Buku Baik
Ajidarma, Seno Gumira. 2001. Jakarta 2039. Yogayakarta: Galangpress.
Barker, Chris. 2004. The SAGE Dictionary of Cultural Studies, London: SAGE Publications
Crinson, Mark (ed). 2005. Urban Memory. History and Amnesia in Modern City. London&New York: Routledge
“Tragedi Mei 198. Jangan sampai di-‘X-FILE’-kan”. Dalam Kompas, 13 Mei 2005

 
4 Comments

Posted by on June 22, 2010 in Essay

 

Tags: , , , , , ,

4 responses to “Mengingat dan Melupakan di Tubuh Jakarta

  1. anton ashardi

    November 16, 2010 at 8:14 am

    panjang bener, gak ada gambar2nya lagi…
    *damai

     
    • herlinatiens

      December 6, 2010 at 1:07 am

      hadeeeeeew, lama juga ndak nulis, de…masak nulis sekali diprotes…

       
  2. adrian10fajri

    April 7, 2013 at 9:14 pm

    salam kenal..

    silahkan berkunjung ke blog saya >> http://www.adrian10fajri.wordpress.com (Pesona Palembang)

     
  3. Apple Products

    January 27, 2014 at 3:50 pm

    Reply for post : “Mengingat dan Melupakan di Tubuh Jakarta”

    your blog help me so much, thanks for sharing…
    Best free classified website : http://nullads.com

     

Leave a comment