RSS

e dijahyellow e tengkiyuuu

…saat yang WARAS menghibur masyarakat yang sakit…

Masyarakat yang sakit dibangun dari individu yang hidup dengan modus “memiliki” dan menolak untuk “menjadi”. Erich Fromm

Sementara ciri utama orientasi memiliki yaitu kecenderungan memperlakukan setiap orang dan setiap hal menjadi miliknya. Dimana memiliki berarti menguasai dan memperlakukan sesuatu sebagai objek. Hal ini berkonsekuensi pada pem-benda-an. Yang berarti hal ini berkorelasi pada pengertian pada segala sesuatu yang dibendakan akan diberlakukan seperti benda.

Saya sih tidak terganggu dengan siaran seharian penuh pernikahan Raffi Ahmad dan Nagita Slavina. Meski bahkan sebelum acara live tersebut benar-benar tayang, sudah banyak orang komplain melalui dumay sebab merasa haknya untuk mendapatkan informasi yang sehat dan bernutu telah dilanggar oleh Raffi Ahmad dan stasiun televisi yang menyiarkannya.

Pikir saya sih itung-itung njagong manten, sementara menghitung ada berapa banyak perempuan ingin seperti Gigi. Di samping saya, mbak Rita, suster-nya eyang berulang kali bilang, “aku juga mau kayak Gigi, ya ampun hadiahnya sepatu harganya mahal.”

Bukan soal ini yang saya sedang batin dua tiga hari ini.

Tapi soal Hodijah @dijahyellow yang sempat saya lihat tayangannya di youtube.com seperti ini

Coba perhatikan cara Hodijah bercerita soal Bieber. Apa benar Hodijah “waras?” Bagi saya, stasiun televisi yang pernah menyiarkan/mengundang Hodijah ini sudah terlampau keterlaluan. Mungkin saja, saya salah satu orang yang kurang perduli tentang siaran televisi Indonesia. Bukan karena belagu merasa tayangan tv Indo nggak mutu, tapi karena saya memang jarang nonton tv, hobi saya maenan koi, memasak, dan maenan tanaman. Selebihnya sebelum tidur saya akan menyempatkan diri nonton tayangan Natgeo, meski kadang bikin wagu sendiri tapi tetap masih menyehatkan. Butuh nonton opera sabun saya akan mengaktifkan channel starworlds. Nunggu beberapa opera sabun yang sering ditayangkan berseri di situ pada musim-musim tertentu.

Bisa jadi saya satu-satunya yang gila, sementara yang lain masih sehat sentosah. Mengapa saya mencurigai orang di sekililing saya, sementara mereka bisa memprotes tayangan soal pernikahan Raffi Ahmad (buktinya bisa update di dumay kan? yang bahkan sblm tayangan Raffi – Nagita benar-benar tayang) tapi kecolongan soal Hodijah. Atau jangan-jangan memang saya yang gila? saat sok tahu (jadi ingat revisi dari dosen saya Katrin Bandel di sebuah lembar tesis saya) karena membawa barometer sendiri soal gila dan waras. Jangan-jangan memang saya yang gila karena menyebut Hodijah kan “sakit.” Jangan-jangan memang hanya saya yang gila karena mempertanyakan mengapa stasiun tv berikut awak kapalnya tega mengundang dan menyiarkan Hodijah untuk menjadi tontonan dan tertawakan penonton. Lalu pulang kembali ke rumah untuk membaca tweet dan komentar dari followernya yang menghina dan mengejeknya.

Hodijah bukan Syahrini, Shinta Jojo apalagi Nikita Mirzani, pemirsa…

…yang meskipun bukan berarti saya lebih bisa memaklumi ejekan pada mereka, tapi Hodijah berbeda. Atau jangan-jangan memang hanya saya saja yang menganggap Dijah berbeda?

SAYA JUGA SAKIT, saya beberapa kali mengetikkan nama Hodijah di youtube.com, instagram, dan twitter. Memperhatikan setiap tweet-nya, upload-an video dan wawancara televisi. Berulangkali meyakinkan diri saya bahwa tayangan itu bukan settingan untuk mengimajikan Dijah Gila, (mengingat jaman sekarang kan konon settingan semua)

Apa yang Indra Herlambang, Raffi, Jessica lakukan pada Hodijah, apapun alasannya sungguh tidak pantas. Saya mengabaikan teori Foucult, saya mengabaikan mas Erich Fromm…karena bagi saya cuma satu, sejauh ini, antara media dan pemirsa televisi Indonesia, ternyata memang hanya Hodijah yang waras. Sementara saya sendiri sakit, terbukti berhari-hari setelah melihat share-sharean berita soal Hodijah yang mengejek RAISA dengan judul, dasar artis dadakan, di facebook, saya tidak bisa berhenti memikirkan Hodijah. masyarakat pemirsa juga tak kurang sakitnya, karena mereka lebih terganggu dengan tayangan pernikahan Raffi-Nagita ketimbang dipermalukannya Hodijah yang “sakit” di televisi.

Suatu hari kalau saya menemukan bukti dan menyadari bahwa ternyata kasus Hodijah adalah settingan, saya tetap tidak akan menyesal telah menuliskan ini, bagi saya apa yang dilakukan televisi terkait Hodijah adalah cara paling kotor memperolok dan menghina masyarakat yang sudah “sakit”. Kurang gila apa cobalah kami? sedang saban hari manggut-manggut saja melihat acara keluarga Raffi Ahmad, setelah sebelumnya tergila-gila pada kisah cinta Ariel dan Luna Maya di layar kaca…mengalahkan berita pembunuhan dan pemerkosaan di desa-desa yang jauh dari Jakarta. Kok ya masih tega mempertontonkan satu-satunya manusia yang masih “waras”, Hodijah di hadapan kami…

Baiklah, ada baiknya saya melanjutkan maen bekel sendirian yang kemarin saya beli dari sebuah toko di jalan Kaliurang sana….

e dijahyellow e tengkiyuuu

Kota yang sakit, 25 Oktober 2014

 
2 Comments

Posted by on October 25, 2014 in Catatan Hari Ini

 

Tags: , , , , , , , , , ,

Mengingat dan Melupakan di Tubuh Jakarta

Judul : Ruang Publik, Identitas dan Memori Kolektif: Jakarta Pasca-Suharto
Penulis : Abidin Kusno
Penerbit : Ombak, Yogyakarta
Edisi : Pertama, 2009
Tebal : xxiv + 210 hlm

Selama bertahun-tahun tak kurang dari 6 tahun, saya merasa cemas terhadap kecemasan saya sendiri setiap kali mendapat tugas dari guru SD saya untuk melihat film G 30/S PKI yang ditayangkan tengah malam pada masa itu. Bagaimana saya tidak cemas? Film itu akan diselingi Berita Dunia yang artinya akan terlalu larut untuk saya berangkat tidur. Tanpa harus diingatkan oleh Ibu, saya akan beranjak dari depan televisi tepat saat tayangan film dihentikan untuk mengikuti berita selama satu jam. Keesokkan harinya saya akan mengeluh tapi tidak bisa berbuat apa-apa selain menerima aturan yang dimainkan dalam keluarga saya.

Begitulah, bagaimana pemerintah melalui TVRI yang pada masa itu merupakan satu-satunya stasiun televisi di Indonesia mencoba memainkan perannya sebagai mesim pengamnesia masyarakatnya dengan menanamkan satu pemahaman bahwa PKI adalah penjahat dan sekaligus cacing yang paling menjijikkan yang harus dijauhi dan dibenci selamanya.

Rupa-rupanya, teknik ini sudah tidak lagi eksis dalam dunia pengamnesiaan sejarah. Suntik amnesia diberlakukan kembali dengan cara memanfaatkan satu ranah yang meskipun berbeda motifnya, tapi memiliki tujuan yang sama.

Kenyataan tersebutlah yang membawa masyarakat Indonesia, khususnya warga Jakarta pada sebuah pertanyaan dasar tentang Jakarta masa kini dalam buku Ruang Publik, Identitas dan Memori Kolektif: Jakarta Pasca-Suharto (selanjutnya disebut JPS) karya Abidin Kusno.
Hal paling umum yang ada dalam benak banyak orang di Indonesia tentang Jakarta adalah bahwa, Jakarta sebagai pusat modernisme, ibukota negara, sebagai pusat ekonomi dan pemerintahan yang berisi gedung-gedung bertingkat, mall-mall megah, apartemen dan rumah mewah juga mobil lalu lalang di jalanan dengan segala jenis merk ,warma, dan jenis yang menyebabkan kemacetan di hampir seluruh jam. Realitas-realitas ini berkelindan dengan realitas lain sebagai imaji tentang dunia kumuh pinggir kali dan berkumpulnya pengemis dan anak jalanan.
Bagaimanapun juga tetaplah satu kenyataan bahwa suatu realitas di Jakarta selalu berjalin kelindan dengan realitas yang lain. Jakarta akhirnya hampir selalu dimaknai sebagai satu realitas tunggal sebagai tempat yang menawarkan kegermelapan dan kemudahan hidup bagi warganya, meskipun menurut penulis Seno Gumira Ajidarma dalam salah satu esainya mengatakan bahwa “kegemerlapan Jakarta adalah cermin kepahitan yang gagal diredamnya.” Wajah kepahitan itu sendiri saya kira bisa dimaknai bermacam-macam, namun kepahitan itu pula yang tergambar, sekaligus berusaha disingkirkan, dalam realitas Jakarta.
Secara garis buku JPS yang berdasar dari penelitian ini menarasikan adanya pertarungan kuasa dalam pembentukan dan tata ketak ruang kota. Bahwa isi, bentuk, dan ruang kota membentuk nuansa politik, kebudayaan, identitas keseluruhan, dan tentu saja memori kolektif kota Jakarta.
Bahwa gedung, bangunan, monumen-monumen dan tata letak kota bukan sekedar benda mati yang mengedepankan suatu cita rasa dan kreasi arsiteknya. Akan tetapi lebih daripada itu, menjadi sarana politis untuk membangun suatu identitas kolektif. Sifatnya yang ambigu dan bahkan kontradiksi, bukanlah sesederhana hitam dan putih dalam proses membangun suatu identitas demi kepentingan legitimasi suatu rezim dan kekuasaan.
Bisa dikatakan, memori dan kota ibarat sebuah koin dengan dualitas sisi yang bersebelahan yang sekaligus juga memiliki hubungan dialektis dimana mengahasilkan urban memory. Hal ini mengindikasikan kota sebagai sebuah lanskap fisik di mana terdapat kumpulan objek dan praktik yang memungkinkan masa lalu dikumpulkan kembali dengan cara menaruhnya pada bangunan kota (Lihat Crinson [ed], 2005: xii). Artinya, memori sebuah kota melakukan “aktivitas” mengingat atau melupakan melalui bangunan yang ada di dalamnya, melalui sekumpulan “objek” dan “praktik” yang dipahami sebagai tempat dan ruang fisik konkret yang ikut menampung dan membentuk eksistensi memori kolektif warga. Dengan demikian, mengutip Rossi, seseorang bisa saja mengatakan bahwa kota itu sendiri merupakan gambaran dari memori kolektif para penghuninya (Harvey, 2003).
Jelas kemudian bahwa kota, dalam hal ini Jakarta, menjadi simbol sekaligus medan untuk mempertemukan, mengadu dan membentuk identitas-identitas yang ada untuk suatu politik identitas yang dimau oleh suatu rezim. Bahwa kota beserta seluruh bangunannya tidaklah sebisu yang masyarakat penghuninya kira.
Buku ini di awali dengan ulasan tentang pembentukan memori kolektif melalui proses “mengingat” dan “pelupaan.” Dengan kata lain memori kolektif muncul dengan adanya pelupaan kolektif. Penurunkan patung Jan Pieterszoon Coen, yang tidak sekedar monumen peringatan, di lapangan Banteng pada 6 Maret 1943, tanpa menghancurkan patungnya adalah usaha dari Jepang untuk membangun ingatan sekaligus pelupaan penghuni Jakarta pada pemerintah Belanda

“Setelah patung dan portal disingkirkan, portal dan pedestal ini menjadi kanvas kosong yang terbuka untuk diisi dengan pesan baru. Masa lalu tidak dihilangkan, tapi dihadirkan dalam bentuk monumen kosong, suatu ruang yang telah dibersihkan untuk menampung kenangan baru. Yang penting di sini bukan bukanlah pembentukkan wacana pelupaan, seakan-akan kapasitas memori itu terbatas sehingga perlu dikosongkan untuk diisi memori baru.” (JPS, 2009: 7)

Jepang berpikir dengan cara ini, masyarakat Jakarta melupakan Belanda dan mengingat Jepang sebagai cahaya baru bagi masyarakat. Hal ini berarti segala ketentuan dan aturan yang pernah diberlakukan oleh Belanda diganti dengan aturan baru dari Jepang. Hal ini juga yang dilakukan oleh Soekarno yang memenuhi ruang kota dengan berbagai monumen dan gedung-gedung mewah. Hal yang serupa juga dilakukan oleh Suharto melalui narasi Lubang Buaya dimana mematikan karakter komunisme dan membangun kerangka keberhasilan dan heroisme militer dalam melindungi masyarakat.

Penguasa Orde Baru dalam hal ini, masa Suharto sebagai lokomotifnya memainkan menarasikan peran Jakarta dalam segala motif kekuasaannya. Jika di era Soekarno Jakarta merupakan medan mobilisasi yang menurut banyak orang dianggap paling masif, di masa Suharto hal ini mencoba dinetralisir untuk tidak mengatakan dipangkas dan dibunuh. Bagaimana citra Soekarno sebagai Penyambung Lidah Rakyat mencoba digeser dengan kesengajaan yang tentu bersifat politis melalui mengganti kata “Bung” Karno dengan sebutan “Pak” Harto. Dalam filosofi Jawa kata Pak tentu merujuk pada istilah Bapak, yang bertugas mengatur dan mendidik anak-anaknya (masyarakat dan negara pada umumnya) agar tidak salah langkah.

Tragedi Petrus (Penembak Misterius) di tahun 1980-an dianggap menjadi shock therapy oleh pemerintahan Suharto. Motif ini umpama metode panoticon, yang bertujuan untuk mendisplinkan tubuh dan perilaku personal/subyek tanpa adanya paksaan maupun pengawasan yang sifatnya berkesimabungan dan mutlak. Melalui tragedi inilah Suharto mencoba menunjukkan kuasa atas kontrolnya terhadap Jakarta.

Memori kolektif menjadi tidak stabil karena terus dibentuk dan bahkan dengan niscaya sangat berbeda dari satu masa ke masa berikutnya mengikuti selera penguasa. Karenanya memori “resmi” seringkali penuh dengan kontradiksi-kontradiksi. Sikap mendua hati dari pengingat akan mudah ditemui, karena simbol-simbol pengingat sekaligus pelupaan juga bersifat ambigu dan ambivalen.
Dari banyaknya kelindan antara memori-memori yang coba dibentuk oleh penguasa dan sekaligus personal miliki sendiri, terdapat memori-memori yang sifatnya jauh lebih sederhana kalau tidak berhasil dilupakan. Memori-memori tersebut seringnya berasal dari ketidakberhasilan pembentukan memori kolektif. Sebagai contoh adalah peristiwa Mei 1998, yang dikenang sebagai peristiwa penuh kontradiksi dari berbagai trauma yang ada. Sehingga bentuk pengingatannya adalah harus mengambil motif/bentuk pelupaan.

Meski konsekuensi yang bisa terjadi dari bentuk pelupaan ini adalah berulangnya pengalaman pahit tersebut. Sebaliknya, ketidakmampuan untuk melupakan konflik yang terjadi (di 1998) juga membuka celah untuk konflik yang lebih dahsyat lagi. Tanpa adanya ruang publik, bukan berarti memori dari suatu peristiwa pahit hilang, tapi bisa jadi suatu komunitas menyimpan dan membentuk memori kolektif di wilayah personal masing-masing. Hal itulah yang menjadikan hubungan antara ruang publik, formasi identitas dan memori kolektif sangat jauh dari sederhana.

“Meskipun keberadaan memori tergantung pada ruang publik dan lingkungan fisiknya ruang publik tidaklah mampu dengan sendirinya membawa dan menyimpan memori. Tapi, sebaliknya, ruang publik ini adalah arena tempat negara dan masyarakat menunjukkan kekuasaannya melalui pemaknaan sosial dan legal.” (JPS, 2009: 35)

Pemasaran ruang kota, pengawasan terhadap budaya kota, pelupaan terhadap konflik-konflik sosial, merupakan sebagian dari realitas yang ikut membentuk memori. Sebagian ada yang tetap hidup dalam ingatan sebuah komunitas, sementara yang sebagian lagi terlupakan. Ilustrasi ini hanya ingin mengatakan: pada awalnya, pelupaan terlihat menakutkan, sementara mengingat terlihat menarik hati. Namun kemudian ternyata, pelupaan menjadi sesuatu mempesona karena ternyata untuk mengingat pun, seorang atau sekelompok orang harus terlebih dahulu melalui jalan pelupaan.
Sebagaimana sebuah representasi, selalu saja ada jarak antara wacana dan realitas yang ada. Representasi selalu berupaya untuk menutup celah yang ada tersebut dengan berbagai macam motif dan bentuk, meskipun kenyataannya tidak selalu berhasil. Bandingkan dengan bagaimana representasi dari negosiasi yang dibentuk pada bangsa Indonesia yang mengalami berbagai macam kekerasan sosial dan traumatis yang apabila seluruhnya diingat akan membuat bangsa tercerai berai.
Negosiasi antara kota dan negara menjadi lebih jelas bila kita memperhatikan bentuk ruang dan fisik perkotaan, sebab jelas bahwa tata letak kota tidaklah sebisu yang kita kira. Kesemuanya itu turut serta dalam membentuk identitas masyarakat di dalamnya dan imajinasi nasional pada umumnya.

Perjalanan era Suharto jelas mencoba menghapus memori kota penguasa sebelumnya dan menciptakan generasi baru yang amnesia sejarah. Politik estetika kota yang ada menunjukkan representasi arsitektur dan perkotaan telah menghasilkan dua kelompok sosial/kelas sosial dalam negara; kelas bawah dan elite kelas menengah. Kedua kategori ini muncul dengan jelas di kerusuhan Mei 1998 yang sekaligus menjadi kehancuran era Suharto sendiri.

Peminggiran memori kolektif masyarakat Tionghoa Glodok atas kerusuhan Mei 1998 dilakukan paska kerusuhan itu terjadi. Catatan kelam dari penjarahan, pembunuhan, dan pemerkosaan perempuan-perempuan Tionghoa sampai saat ini tidak selesai. Apalagi jika kita lihat bangunan megah bergaya modern Glodok Plaza yang sekarang, berdiri begitu angkuh di atas ketidakjelasan sekaligus buruknya nasib para korban kerusuhan.

Kenyataan dari suatu memori kolektif yang diingat maupun dilupakan tidaklah berlangsung secara natural. Pada titik ini kota bisa dimaknai sebagai entitas yang memperlakukan sejarah masa lalu sebagai sesuatu yang diseleksi secara ketat dan tidak sederhana. Melibatkan elemen-elemen lain dimana kekuasaan menjadi pengejawantah utama melalui teknik arsitektur, perencana kota, pengembang, dan seterusnya. Sedangkan realitas kota turut serta membentuk jalinan memori yang meskipun masih akan terus diseleksi hingga bisa “diterima” oleh realitas itu sendiri.

Wacana sub-altern akan kerusuhan Mei ini, diangkat oleh Seno Gumira Ajidarma dalam esai berjudul Jakarta 2039 di majalah Matra, yang pada akhirnya diterbitkan oleh penerbit Galangpress dalam sebuah essay bergambar. Angka 2039 ini menunjuk pada 40 tahun semenjak kerusuhan yang terjadi tersebut. Mungkin seperti pembeberan dokumentasi rahasia di Amerika yang dikeluarkan setelah puluhan tahun kemudian. Disini, SGA mencoba menawarkan suatu kerangka pikir tentang keanehan dan kejanggalan perihal memori kolektif di Indonesia, khususnya Jakarta.

Perubahan sosial-ekonomi pasca Suharto termasuk kebijakan-kebijakan Sutiyoso sangat jelas dirasakan oleh warga Jakarta. Pasca turunnya Suharto, Jakarta menghasilkan kondisi; yang dalam istilah Abidin Kusno disebut sebagai “kelonggaran di pusat.” Kondisi ini menjelaskan tidak adanya pengendali tunggal bagi penguasa kota. Dan Sutiyoso selaku gubernur DKI, memanfaatkan situasi ini untuk mulai menata sekaligus mendisiplinkan warga Jakarta.

Sutiyoso memulainya dengan membangun pagar di Monas. Membersihkan Monas yang dulunya adalah monumen masyarakat dari para Pedagang Kaki Lima, dan menempatkan hewan manis; rusa di area monumen sebagai simbol kemawahan. Kebijakan-kebijakan Sutiyoso ini mendapat pertentangan keras dari masyarakat yang juga memanfaatkan momen “kelonggaran di pusat.” Hal inilah yang menyebabkan Sutiyoso mendapatkan banyak diprotes dari masyarakat Jakarta. Sutiyoso pernah mengutarakan, “Selama masa jabatan pertama saya, antara 1997 sampai 2002, telah terjadi 4538 unjuk rasa yang dilakukan warga Jakarta melawan (kebijakan) saya.” Kelonggaran di pusat ini melahirkan mobilisasi massa yang dianggap tabu di era Suharto.

“…memperlihatkan hubungan antara politik, memori, dan ruang kota. Ia menunjukkan bagaimana pemerintah dan warga kota mengingat dan melupkan Jakarta sebagai pusat kebangkitan dan pembangunan nasional. Memori dalam bab ini mengacu kepada upaya-upaya institusi-institusi yang ingin menata memori kolektif masyarakat untuk keperluan tatanan sosial dan legitimasi politik.” (JPS, 2009: 99)

Kusno dengan gamblang mencoba menarasikan bagaimana memori lama diregulasi untuk membentuk memori baru sebuah kota, dan bagaimana masyarakat menghadapi kebaruan tersebut sekaligus melakukan perlawanan terhadapnya. Bagaimana Jakarta tidak dikawal oleh sesuatu yang sekedar kekuatan ekonomi dan politik yang ada, akan tetapi sesuatu yang lebih kuat dari lagi, yang kenyataannya berhasil membuat penghuninya menjadi orang-orang asing yang terjebak di jurang impian nasionalisme dan realitas kota.

“Seperti dikatakan juga oleh Seno Gumira Ajidarma, di Jakarta setiap orang kelihatannya berasumsi mempunyai tanah kelahiran di tempat lain, dan seperti diungkapkan Sarwono Kusumaatmadja, “penduduk Jakarta tidak mencintai Jakarta sepenuhnya, karena mereka tidak mempunyai ikatan emosi yang mengikat mereka dengan kota asal mereka.” Dengan demikian, bisa kita pahami mengapa urbanisme nasionalis telah diupayakan untuk menjadi musik pemikat yang diharapkan dapat membuat orang mengimajinasikan dirinya sebagai bagian dari kota.” (JPS, 2009: 102)

Setelah bermain-main dengan arsitektur dan tata letak kota, Sutiyoso memberikan kejutan tentang bagaimana menjadi pengguna jalan raya melalui busway. Terlihat bahwa busway diarahkan untuk pendisiplinan lalu-lintas jalan. Kondisi itu bisa dilihat dari bagaimana arsitektural transparan dalam busway, bagaimana mekanisme pengawasan, disiplin berbaris dan antri dari busway. Sehingga, munculnya busway bisa dilihat sebagai metode paling pas untuk menaklukkan perilaku warga Jakarta.
Dari kaca mata Foucault, setiap interior di dalam mall bisa dibaca sebagai usaha pendisiplinan individu yang tentu saja di dalamnya terdapat misi panopticon. Dengan adanya arsitektural, subyek/individu dididik untuk tertib, disiplin, dan teratur dalam kehidupan sosial. Proyek-proyek pendisiplinan tubuh inilah yang digalakkan Jakarta.
Secara sederhana, buku ini berusaha membuka tabir politik Jakarta. Bagaimana pergolakan Jakarta di tangan penguasa satu dengan penguasa sesudahnya. Pembentukan wacana dominan dengan menyingkirkan wacana pinggiran bisa dibaca melalui politik tata letak kota.
Abdin Kusno dalam teks Ruang Publik, Identitas dan Memori Kolektif: Jakarta Pasca Suharto, jelas berpendapat bahwa negara sama sekali tidak memberikan ruang untuk memori-memori buruk dalam kota; Jakarta. Karena tidak memiliki ruang, memori-memori tak berwadah di ruang publik ini harus disingkirkan atau dilupakan.
Sayangnya, buku ini tidak banyak membahas “identitas” sebagaimana judul buku. Hal-hal yang mustinya bisa menjadi titik tolak analisa tidak banyak dielaborasi sebagaimana bahasan ruang publik dan memori kolektif. Bab terakhir buku ini jelas berbicara tentang proyek-proyek megah, mustinya hal ini bisa dikaji sebagai kebutuhan akan identitas elite kelas menengah, sebagaimana yang diulas di bab awal. Karenanya, pembaca tidak akan menemukan ekspresi identitas elite warga Jakarta dalam ranah representasi-representasi yang ada. Kehadiran busway, pembangunan gedung-gedung, rumah, dan perkantoran mewah, serta mall-mall yang memenuhi kota, selain bisa dibaca sebagai usaha untuk legitimasi kekuasaan, saya rasa juga turut serta dalam embentuk tatanan memori kolektif baru yang lebih menjanjikan dan serba modern.

DAFTAR PUSTAKA

Kusno, Abidin. 2009. Ruang Publik, Identitas dan Memori Kolektif: Jakarta Pasca Suharto, Yogyakarta: Ombak
Ajidarma, Seno Gumira. 2004. Affair. Obrolan Tentang Jakarta. Yogyakarta: Buku Baik
Ajidarma, Seno Gumira. 2001. Jakarta 2039. Yogayakarta: Galangpress.
Barker, Chris. 2004. The SAGE Dictionary of Cultural Studies, London: SAGE Publications
Crinson, Mark (ed). 2005. Urban Memory. History and Amnesia in Modern City. London&New York: Routledge
“Tragedi Mei 198. Jangan sampai di-‘X-FILE’-kan”. Dalam Kompas, 13 Mei 2005

 
4 Comments

Posted by on June 22, 2010 in Essay

 

Tags: , , , , , ,

Semacam Pengantar: Tentang Bidadari di Kampung Saya

Caos Dhahar untuk Keselamatan Walikukun

Any attempt to speak without speaking any particular language is not more hopeless than the attempt to have a religion that shall be no religion in particular . . . Thus every living and healthy religion has amarked idiosyncrasy. Its power consists in its special and surprising message and in the bias which that revelation gives to life. The vistas it opens and the mysteries it propounds are another world to live in; and another world to live in—whether we expect ever to pass wholly over into it or no—is what we mean by having a religion. SANTAYANA, Reason in Religion

Membaca Ngawi
Ngawi, sebuah kabupaten di ujung propinsi Jawa Timur yang berbatasan langsung dengan propinsi Jawa Tengah. Konon, nama Ngawi berasal dari kata “awi” atau bambu yang kemudian mendapat imbuhan “ng” menjadi Ngawi. Menurut catatan yang menjadi dasar kelahiran kabupaten ini dari penelitian benda-benda kuno, menunjukkan bahwa di Ngawi telah berlangsung suatu aktifitas keagamaan sejak pemerintahan Airlangga dan rupanya masih tetap bertahan hingga masa akhir Pemerintahan Raja Majapahit.

Fragmen dan model percandian menunjukkan sifat ke”Siwa”an yang erat hubungannya dengan pemujaan di dan untuk Gunung Lawu, Girindra. Pergeseran mulai terjadi dengan masuknya pengaruh Islam dan budaya Eropa, khususnya Belanda, yang sampai saat ini masih bisa ditemukan kuburan-kuburan Belanda yang menyatu dengan rumah penduduk, khususnya di desa Walikukun. Terlepas dari semua itu, Ngawi memiliki peranan cukup penting terkait posisi geostrategis yang dimilikinya.
Berdasarkan peninggalan benda-benda kuno dan rekaman sejarah dapat dicatat beberapa hal yang pada perjalananya nanti akan menjadi modal narasi selanjutnya perihal perkembangan agama yang terjadi di hampir seluruh desa di Ngawi. Ngawi sebagai Daerah Swatantra dan Naditira pradesa, pada jaman pemerintahan raja Hayam Wuruk (Majapahit) tepatnya tanggal 7 Juli 1358, (tersebut dalam Prasati Canggu yang berangka Tahun Saka 1280). Sebagai Daerah Narawita Sultan Yogyakarta dengan Palungguh Bupati – Wedono Monconegoro Wetan, tepatnya tanggal 10 Nopember 1828 M (tersebut dalam surat Piagam Sultan Hamengkubuwono V tertanggal 2 Jumadil awal 1756 AJ). Ngawi sebagai Onder-Regentschap yang dikepalai oleh Onder Regent (Bupati Anom) Raden Ngabehi Sumodigdo, tepatnya tertanggal 31 Agustus 1830.

Nama Van Den Bosch berkaitan dengan nama ”Benteng Van Den Bosch Di Ngawi, yang dibangun pada Tahun 1839 – 1845 untuk menghadapi kelanjutan Perjuangan Perlawanan dan serangan rakyat terhadap penjajah, diantaranya di Ngawi yang dipimpin oleh Wirotani, salah satu pengikut Pangeran Diponegoro. Hal ini dapat diketahui dari buku ”De Java Oorlog” karangan Pjf. Louw Jilid I Tahun 1894 dengan sebutan (menurut sebutan dari penjajah) : ”Tentang Pemberontakan Wirotani di Ngawi.”
Prasati Canggu yang merupakan sumber data tertua, digunakan sebagai penetapan hari jadi Ngawi, yaitu pada tahun 1280 Saka atau pada tanggal 8 hari Sabtu Legi Bulan Rajab Tahun 1280 Saka, tepatnya pada tanggal 7 Juli 1358 Masehi (berdasarkan perhitungan menurut Lc. Damais) dengan status Ngawi sebagai Daerah Swatantra dan Naditira Pradesa. (http://www.kotangawi.com/).
Masuknya budaya Eropa dengan ajaran agama besar yang dibawa tidak begitu saja menghapus agama yang erat kaitannya dengan magi di Ngawi. Salah satu yang bisa dilihat tentang perjalan magi di Ngawi adalah di desa Walikukun, Widodaren.

Perihal nama Walikukun sendiri sebenarnya menimbulkan spekulasi tersendiri bagi masyarakat setempat. Sebagian orang mengatakan bahwa Walikukun berasal dari sebuah nama pohon yang bentuknya mirip dengan pohon jati. Kedua adalah, keyakinan bahwa di sekitar abad 14 atau 15 ada seorang wali yang melalui dan tinggal sejenak di daerah Kukun. Sampai kemudian daerah ini disebut Walikukun.

Caos Dhahar pada Mbok Rondo Ireng
“Let us, therefore, reduce our paradigm to a definition, for, although it is notorious that definitions establish nothing, in themselves they do, if they are carefully enough constructed, provide a useful orientation, or reorientation, of thought, such that an extended unpacking of them can be an effective way of developing and controlling a novel line of inquiry. They have the useful virtue of cxplicitness: they commit themselves in a way discursive prose, which, in this field especially, is always liable to substitute rhetoric for argument, does not. Without further ado, then, a religion is: (1) a system of symbols which acts to (2) establish powerful, pervasive, and long-lasting moods and motivations in men by (3) formulating conceptions of a general order of existence and (4) clothing these conceptions with such an aura of factuality that (5) the moods and motivations seem uniquely realistic.” (Geertz, 1993: 90-91)

Mudahnya penerimaan masyarakat Jawa pada Hinduisme dan Buddhisme yang mungkin saja karena memiliki banyak kesamaan dengan spiritualisme kuno Jawa Pra-Hindu. Melihat konsepsi dasar Jawa mengenai dunia gaib yang didasarkan pada ide bahwa segala yang nampak dalam kehidupan disebabkan oleh makhluk berfikir dan berkepribadian dimana mereka memiliki kehendak dan tujuan
Roh-roh yang disembah oleh orang Jawa pada umumnya disebut hyang atau yang yang berarti tuhan. Tak mengherankan kemudian ada kata sembahyang dan danyang. Tentu saja, perihal danyang masih banyak diyakini oleh masyarakat Jawa, dimana mereka menganggap bahwa setiap desa memiliki roh penjaga sendiri yang biasanya tinggal di pohon-pohon rindang, beringin misalnya.

Masyarakat setempat membayangkan dan berpikir bahwa roh-roh itu berasal dari orang-orang suci atau penguasa di masa lalu yang mendatangi desa mereka jauh sebelum mereka sendiri lahir di desa tersebut. Karenanya tradisi ngalap berkah atau meminta berkah perlindungan dan keselamatan atas seluruh hajat dan niat yang hendak diselenggarakan dari danyang-danyang yang dianggap menjadi penjaga desa setempat.

***Perihal Keduanya
Mbok Rondo Ireng, menurut cerita yang berkembang adalah istri seorang raja kecil yang melarikan diri karena hendak diperistri patih Galigajaya, saat suaminya bertugas keluar daerah. Dia memiliki tiga orang anak yang ikut serta dalam pelarian, yaitu: Kencana Wulan, Hariyanti, dan Gandana.
Kencana Wulan pada akhirnya mati karena perahunya terguling, sampai sekarang perahunya masih ada di bawah sebuah jembatan di desa Walikukun yang saat itu hendak melarikan diri karena patih Galigajaya berhasil menemukan dia yang sudah menikah dengan pak Kunti. Daerah itu saat ini disebut Kedung Perahu. Hariyanti yang masih gadis sudah mati terlebih dulu dengan menceburkan diri ke sungai yang saat ini dikenal dengan nama Kedung Perawan.

Patih Galigajaya pada akhirnya menguburkan jenasah Kencana Wulan di tempat yang tidak jauh dengan kuburan ibunya, Mbok Rondo Ireng. Karena dia memiliki penyakit kuning, karenanya Kencana Wulan dikenal dengan nama Mbok Rondo Kuning.

Sebagian masyakarat ada yang mengatakan bahwa Mbok Rondo Ireng masih berkerabat dekat Aryo Bangsal, anak raja Majapahit atau lebih dikenal dengan Joko Gudik, karena memiliki banyak gudik, di tubuhnya. Aryo Bangsal ini adalah calon menantu Ratu Puan yang kerajaannya ada di gunung Lir-Liran, salah satu anak gunung Lawu, yang sampai saat ini, reruntuhan kerajaannya masih dapat ditemukan di gunung Lir-Liran.

Simbol-simbol dari kepercayaan bahwa Mbok Rondo Ireng adalah penjaga desa Walikukun ini nampak dari representasi perayaan dan situs-situs yang masih terjaga. Seperti pagar suatu tempat yang diyakini sebagai tumbuhnya pisang emas pupus cinde. Arca Mbok Rondo Kuning dan Mbok Rondo Ireng. Karena dianggap daerah yang banyak didatangi oleh putri dan ratu yang cantik inilah, Walikukun juga dikenal dengan nama Widodaren dari kata widodadri, bidadari.. Dalam kepercayaan Hinduisme selain percaya kepada dewa, masyarakat Jawa juga percaya pada dewa dan kepada widadari (bidadari) yang berasal dari Hinduisme. Sangat mungkin ini juga terkait dengan hal ini. Meskipun saat ini, tepatnya sejak tahun 2007, Widodaren menjadi nama kecamatan dan Walikukun menjadi salah satu desa di dalamnya

Rumah Mbok Rondo Ireng adalah sebuah rumah yang dinding-dindingnya berasal dari gedek (anyaman bambu) yang apabila hancur oleh usia akan diperbarui dengan gedek yang lain. Dari dalam rumah itu tumbuh pohon beringin menembus atap rumah yang diyakini sebagai tempat bersemayamnya sang Mbok. Selain pohon beringin tersebut, di dala rumah juga ada arca si Mbok yang entah berasal dari tahun berapa.

Kalau melihat rekam sejarah, dimana Ngawi dianggap sebagai daerah Swatantra dan Naditira pradesa, pada jaman pemerintahan raja Hayam Wuruk (Majapahit) tepatnya tanggal 7 Juli 1358 Masehi, (tersebut dalam Prasati Canggu yang berangka Tahun Saka 1280). Tradisi yang berjalan setelahnya nampak sangat dipengaruhi oleh Hindu Siwa.
Pernah diceritakan seorang tentara yang berperang melawan Belanda suatu hari menebas arca Mbok Rondo Kuning sampai kepalanya lepas, dua hari setelah itu sang tentara meninggal tertembak di lehernya tak jauh dari keberadaan rumah si Mbok Rondo Kuning. Saat ini nama tentara tersebut dijadikan nama jalan di seberang rumah Mbok Rondo Kuning, jalan Sukatminaris.

***Membaca Ngalap Berkah
Sampai saat ini, di rumah Mbok Rondo Ireng selalu diadakan perayaan atau ngalap berkah. Perayaan ini diadakah setiap tanggal 1 di bulan Sura. Mereka yakin, dengan menyediakan buceng kambing (normalnya ayam) akan membuat hati si Mbok merasa senang dan tetap menjaga serta melindungi desa dari seluruh bencana.

Dalam perayaan itu, akan digelar wayang tengul. Perayaan dimulai pagi hari dan selesai sore hari. Dipimpin oleh seorang dukun perempuan yang berdandan dengan menggunakan kebaya lengkap dengan sanggulnya. Dukun ini adalah juru kunci dari rumah Mbok Rondo Ireng. Apabila dia meninggal, salah seorang anak perempuannya akan menggantikannya sebagai juru kunci dan sekaligus menjadi pemimpin setiap ritual yang dilaksanakan di pepunden tersebut.

Segala sesaji disiapkan dengan cara yang terlampau hati-hati. Dari segala jenis kembang, makanan dan alat-alat lain. Meskipun menurut cerita, Mbok Rondo Ireng tidak lebih galak dibandingkan anaknya, Mbok Rondo Kuning, akan tetapi rasa hormat membuat mereka lebih banyak terdiam saat acara berlangsung.

Sepulang dari ngalap berkah, orang-orang akan merasa tenang karena telah menunaikan satu perayaan untuk menyenangkan hati Mbok Rondo Ireng. Menjamasi setiap pusaka milik mereka dan merencanakan niat-niat dan hajat di setahun ke depan.

Meskipun ngalap berkah sudah diadakan setiap tahunnya, masyarakat di Walikukun musti selalu caos dhahar (memberi makan) ke rumah Mbok Rondo Ireng dan Mbok Rondo Kuning saat mereka memiliki hajat. Seperti menikahkan seorang anak, khitan dan hajat-hajat lain. Karenanya di tahun-tahun terakhir masih ada ditemukan anak-anak sekolah yang mengantarkan sesaji ke rumah Mbok Rondo Kuning dan Mbok Rondo Ireng sebelum ujian nasional diadakan.

Rasa tentram yang mereka dapatkan membuat diri merasa yakin dan percaya akan dimudahkan dalam melaksanakan hajat dan kemauannya. Semangat dan rasa percaya diri membuat orang menjadi lebih santai dalam menghadapi sesuatu karena merasa ada “the other” yang menemaninya untuk menjadi pemenang.

Ngalap berkah dan simbol-simbol serta sarana yang mengiringinya memberikan gambaran tentang cara pemaduan antara kepercayaan masyarakat di Walikukun yang animis dan Hindu Siwa yang membentuk konsepsi pokok sebuah desa. Jika seseorang ingin merayakan atau mengeramatkan peristiwa apapun yang berhubungan dengan upacara perseorangan atau jika ia hendak memperoleh berkah dan perlindungan, maka perayaan harus diadakan.

Sebagin orang bisa saja berpikir di sinilah peran Islam masuk dalam ambivalensi masyarakat memandang Mbok Rondo Ireng dan Mbok Rondo Kuning. Peng”jin”an sang Mbok pada sesuatu yang bisa menjadi antagonis. Bagaimana mungkin seorang pelindung desa bisa menjadi perusak dan pendatang bencana? Sebab jin baik akan selalu baik dan jin jahat akan selalu jahat. Tidak bisa jin yang sama melakukan dua hal yang bertolak belakang. Saya cenderung mengira bahwa ini justru internalisasi dari Hindu Siwa pada masyarakat di Walikukun.

Siwa adalah dewa cinta kasih, dia adalah dewa yang selalu nampak sebagai dewa yang memancarkan kaih sayang bagi manusia yang hidup di jalan yang penuh amalan dan kasih pada sesama. Sebaliknya, bagi manusia yang hidupnya dipenuhi dengan dosa dan mengganggu manusia lain, dewa Siwa akan nampak menyeramkan dan selalu siap menghancurkan apapun yang ada di hadapannya. Dalam diri Dewa Siwa terdapat sakti dari Dewi Uma yang cantik dan lemah lembut, serta Dewi Durgha yang merupakan dewi kematian dengan muka yang menyeramkan.

Untuk itulah demi menjaga kasih sayang sang Mbok terhadap desa, masyarakat musti menjaga perilaku mereka dalam bermasyarakat. Membantu yang kekurangan, menolong yang membutuhkan dan membagi rezeki yang ada untuk sesama.

Kenduri dan mempercayakan banyak hal pada dukun atau juri kunci merupakan cara untuk berhubungan langsung dengan si Mbok. Akan tetapi merayu si Mbok agar tetap menjaga desa dan khususnya subyek personal adalah dengan melalui selametan dan caos dhahar.

Bagi sang dukun sendiri, yang mana juga seorang juru kunci di rumah Mbok Rondo Ireng memiliki keyakinan, bahwa untuk mencapai suatu kemenangan atas sebuah kebahagian dari penjagaan sang Mbok, musti tirakat dan penuh pemgorbanan.

Ia harus berpuasa selama sejumlah hari tertentu, dan berpantangan memakan beberapa jenis makanan. Seperti misalnya pisang raja dan lain sebagainya. Maka cara pengrobanan yang lain adalah dengan bertapa. Khususnya saat akan memimpin upacara besar setiap bulan Sura.

***Mbok Rondo Kuning
Masyarakat di Walikukun di tahun-tahun lalu, sebelum dakwah-dakwah Islam masuk dengan kuat begitu percaya kepada kemampuan dukun, meski sampai saat ini masih banyak juga yang mempercayainya.

Perkataan dukun sering menjadi panduan untuk mereka menghentikan atau melanjutkan hajat yang ingin diadakan. Ada sebuah kisah seorang, belum ada setahun perkawinan, sang perempuan kehilangan suaminya karena kecelakaan. Kisah itu berulang sampai empat kali perkawinananya. Sampai pada akhirnya sang dukun, juru kunci rumah Mbok Rondo Ireng menyucikan dia dengan mantra dan sesaji, berhasilah si perempuan memiliki seorang suami sampai saat ini.

Di Walikukun terdapat satu group ketoprak yang setiap akhir Minggu mementaskan sebuah cerita di gedung pertunjukkan sebelum dihancurkan. Kelompok ini selalu menampilkan banyak kisah, tapi tidak menampilkan cerita tentang Mbok Rondo Kuning di sekitar Walikukun. Menurut cerita yang berkembang, selalu selepas mementaskan cerita Mbok Rondo Kuning yang penuh derita itu, salah seorang pemainnya meninggal hanya dalam hitungan hari saja. Karenanya gedung pertunjukan tidak digunakan lagi, selain semakin jauhnya masyarakat dengan tradisi ketoprak terkait juga masalah 1965 yang melanda hampir seluruh daerah di Ngawi.

Sampai saat ini, sesaji untuk mereka yang hendak menikahkah anaknya masih terus dilakukan, terlepas keluarga tersebut menganut agama Kristen, Katolik, maupun Islam. Sebab kalau tidak, saat acara dilakukan bisa jadi datang rintangan, atau bahkan saat kelak sang pengantin menjalani rumah tangga mereka.

Upacara pokok dalam agama Jawa tradisional ialah slametan, dimana di dalamnya hampir selalu ada kenduri. Yang dalam kajian Geerzt dianggap sebagai hal yang paling umum di lakukan oleh para abangan. Melambangkan persatuan mistik dan sosial dari orang-orang yang ikut serta dalam slametan tersebut.

Slametan dan simbol-simbol inilah memberikan gambaran yang jelas tentang cara pemaduan antara kepercayaan abangan yang animis dan Buddhis-Hindu dengan unsur Islam serta membentuk nilai pokok masyarakat pedesaan.

Kenyataan yang menarik, slametan yang dilakukan oleh orang Jawa bukanlah cara atau ritual untuk minta kesenangan atau tambahan harta kekayaa, akan tetapi bertujuan untuk mendapatkan keselamatan dari sakit dan duka. Slametan semacam ini bagi para abangan melambangkan keharusan kerja sama dan ikatan sosial.

Clifford Geertz dalam The Religion of Java meyakini bahwa perkembangan ajaran Islam di Indonesia diwarnai oleh ajaran Hindu, Budha, dan bahkan animisme, sebagai ajaran-ajaran yang telah lama berkembang di Indonesia sebelum Islam. Sehingga terlihat praktik mistik Budha yang diberi nama Arab, raja Hindu berubah namanya menjadi Sultan, sedangkan rakyat kebanyakan masih mempraktikkan ajaran animisme.

Sebab yang mampu menyerap ajaran Islam asli hanyalah sekelompok kecil yakni kalangan santri. Sedang sebagian besar rakyat Indonesia masih dapat dikatakan belum mempraktikkan ajaran Islam sepenuhnya. Bukankah proses sinkretisasi yang paling kental adalah terjadi di Jawa oleh karena sebagian besar masyarakatnya memiliki prinsip bahwa semua agama adalah sama.

Walikukun hanyalah sebuah daerah kecil yang hampir tidak berbeda dengan daerah lain yang masih memiliki dna menjaga aliran-aliran yang lebih menonjolkan aspek-aspek animisme-dinamisme. Pada dasarnya gerakan mistik adalah dan seharusnya selalu independen (bebas).

“Pada umumnya seorang ahli mistik terkenal sebagai orang yang tidak mau tunduk kepada peraturan keduniawian. Dia percaya bahwa dengan jalan mistiknya, dia dapat berhubungan langsung dengan Tuhan dan dapat pula menerima petunjuk-petunjuk langsung dari Tuhan. Jika di dalam suatu daerah terdapat banyak penganut aliran-aliran mistik, khususnya yang telah berubah menjadi magi, maka besar sekali kemungkinannya bahwa para penganut ini tidak mau tunduk pada peraturan-peraturan pemerintah.

Di dalam sejarah kerap kali terjadi pengejaran-pengejaran terhadap ahli mistik, khususnya di luar negeri. Di Indonesia hal ini belum terdapat, meskipun telah terjadi gejala-gejala yang membahayakan. Yaitu misalnya pembunuhan (dengan cara pembedahan) seseorang oleh keluarganya sendiri, karena merasa dapat perintah gaib. Dalam pada itu pemerintah telah pula mengambil langkah-langkah penertiban. Di sini kita lihat ekses-ekses akibat-akibat yang negatif daripada mistik yang telah berubah sifatnya menjadi magi.”( Sosrodihardjo, 1972)

Di Masa kini masjid-masjid makin banyak didirikan, gereja Kristen dan Katolik hampir selalu ramai di hari Sabtu dan Minggu. Namun demikian setiap tahun masyarakat yang percaya pada kekuatan Mbok Rondo Ireng dan Mbok Rondo Kuning masih terus mengadakan ngalap berkah. Biaya mementaskan wayang tengul dan membeli perelngkapan sesaji adalah uang hasil iuran hampir seluruh masyarakat setempat. Bagi yang kemudian lebih teguh belajar Islam dan Kristen Katolik, mereka tidak datang ke acara selamatan, kalaupun datang hanya untuk menyaksikan pementasan wayangnya saja. Atau bisa saja diam-diam di dalam hati mereka turut berdoa dan meminta perlindungan dari sang Mbok.

Berbeda dengan kyai dan pendeta serta pastur di sana yang melarang umatnya datang ke acara itu dan meninggalkan seluruh tradisi yang mengakar jauh sebelum mereka datang, dukun sakti pemimpin ritual itu tidak pernah melarang masyarakatnya untuk memeluk dan meyakini Tuhan-tuhan baru yang datang di masa kini. Dengan terus terang sekaligus diam-diam, umat beragama itu masih akan caos dhahar ke rumah Mbok Rondo Ireng dan Mbok Rondo Kuning sebelum mereka menikahkan anak-anak mereka demi keselamatan selama hajat berlangsung dan seterusnya untuk kebahagian dan kemuliaan hidup sang pengantin.

Referensi:

Koentjaraningrat. 1988. Manusia dan Kebudayaan Di Indonesia. Jakarta : Penerbit Jambatan.

Geertz, Clifford. 1993. Religion as a cultural system. In: The interpretation of cultures. Fontana Press.

http://www.indiana.edu/~wanthro/theory_pages/Geertz.htm
http://www.ngawi.com/ /

 
15 Comments

Posted by on June 21, 2010 in Essay

 

Tags: , , , , , ,

Everything is Illuminated, Pengimajian yang Gagal

Judul Film : Everything Is Illuminated
Sutradara : Liev Schreiber
Pemain : Elijah Wood,Eugene Hutz,Oleksandr Choroshko

Everything is Illuminated (selanjutnya disebuh EI) adalah sebuah film dari novel dengan judul yang sama karangan Jonathan Safran Foer yang terbit di tahun 2002. Film ini menceritakan seorang anak muda bernama Jonathan yang mencari perempuan yang telah berhasil menyelamatkan kakeknya (seorang Yahudi) dari holocaust di Ukraina. Kakek Jonathan tinggal di Shtetl. Kota Shtetl yang pada masa sebelumnya bernama Trachimbrod itu benar-benar hilang, karena dimusnahkan oleh Nazi, kecuali sang kakek yang diselamatkan dan kemudian pindah ke Amerika Serikat.
Jonathan, adalah pribadi yang unik yang gemar mengoleksi hal-hal yang tak kalah unik. Sederhananya, dia adalah seorang kolektor. Dia mengoleksi apa aja yang berhubungan dengan seseorang untuk mengingatkan dia pada seseorang itu. Dia mengumpulkan apa saja kue, tanah, batu bahkan koleksi terakhirnya adalah gigi palsu neneknya yang sebelum meninggal memberikan foto kakeknya dengan seorang gadis yg menyelamatkannya.
Jonathan berangkat ke Ukraina untuk bertemu dengan sebuah keluarga yang memiliki usaha khusus mengantar/menjadi guide orang-orang Yahudi yang ingin mencari bekas kampung mereka yang dihancurkan oleh Nazi di masa lalu. Di sinilah kemudian narasi berkembang menjadi plot-plot yang mudah dipahami oleh penontonnya.
Melalui petualangan Jonathan dan Alex dalam mencari perempuan penolong inilah, penonton akan diajak berwisata sejarah oleh tokoh-tokoh yang ada dalam film ini. Perjalanan pencarian ini sendiri pada akhirnya tidak hanya melibatkan Jonathan dan Alex saja, akan tetapi juga kakek Alex yang merupakan generasi pertama dalam keluarga Alex yang turut serta mengalami tragedi holocaust tersebut.
Jonathan sang kolektor dan pendiman, Alex yang menggemari budaya pop Amerika dan sangat cerewet, kakek Alex yang membutakan diri (menganggap dirinya buta) dan Sammy Davis Jr, Jr, anjing kesayangan si kakek. Berempat mereka menuju kampung yang hilang itu untuk mencari si perempuan penolong.
Mengapa anjing? bukan kucing? mungkin ini pertanyaan menarik. Sebab saya kira anjing di sini bukan sekedar pelengkap saja. “Für Hunde und Juden Verboten!” yang artinya “Anjing dan Yahudi Dilarang Masuk!” adalah larangan yang dipajang di banyak tempat, pada masa kekuasaan Hitler. Larangan ini tidak saja dipasang di Jerman, akan tetapi di seluruh daerah-daerah taklukan yang banyak dihuni oleh bangsa Yahudi, seperti Polandia dan Belanda. Kalimat larangan ini juga muncul dalam film Life is Beautiful (selanjutnya disebut LB), sebuah film yang juga menceritakan tentang kejahatan Nazi kepada Yahudi.
Membaca film yang berangkat dari sebuah novel, apalagi dari segi pencitraan, seharusnya terlebih dulu menganalisanya dengan melakukan pendekatan melalui novel itu sendiri. Hanya saja, karena belum membaca novel Everything Is Illuminated, saya akan membacanya melalui film lain.
Mungkin saja, ada banyak orang berpendapat bahwa film ini sangat layak dan recomended untuk dilihat, bagi saya ini sungguh berlebihan. Penonton akan mematikan televisi atau pulang ke rumah dengan kondisi yang tidak jauh berbeda, untuk tidak mengatakan sama, dengan saat sebelum menonton film ini. Selain bahwa pengetahuan penonton tetap akan gelap tentang peristiwa yang sebenarnya terjadi, juga karena bertentangan dengan penggambaran fiksi dan stereotip yang ada. Lebih daripada itu, bagaimana mungkin film ini bisa dibuat di Republik Ceko? dimana penonton dan masyarakat pada umumnya tidak bisa melihat keterkaitan secara langsung antara tema dan penggambaran yang ada dengan Republik Ceko.
Dari segi cerita, hampir seluruh pertanyaan besar maupun kecil yang ditawarkan di awal film tidak terjawab. Bahkan konflik utama film yang ditimpakan melalui tokoh Jonathan sama sekali tidak terjawab. Bahwa dia berhasil menemukan Agustina, perempuan penolong tersebut itu memang benar, akan tetapi apa yang dia cari sama sekali tidak terjawab sampai bagaian akhir film ini. Alurnya berjalan lambat dan tidak penuh, banyak plot yang cenderung dipaksakan dalam film ini yang justru memberi kesan mengada-ada, selain bahwa kekurangan suspense nampak jelas dirasakan selama film ini berlangsung.
Berbeda dengan yang terjadi di film LB, film dengan durasi kurang lebih 160 menit ini memberikan kejutan-kejutan bagi penontonnya dengan pengorbanan si ayah untuk anaknya yang masih kecil agar selamat dari tentara Nazi yang mengurung mereka di kamp. Bahkan di akhir hidupnya, saat menuju ke proses ditembaknya, sang ayah masih sempat ‘berbohong’ untuk kebahagiaan si anak setelah sebelumnya menyembunyikan si anak di sebuah kotak di pinggir jalan hanya agar si anak tidak melihat dirinya ditembak.
Genre komedi dalam LB saya kira jauh lebih berhasil membawa emosi penonton memasuki wilayah-wilayah yang dimiliki oleh orang-orang Yahudi pada masa itu. Berbeda dengan EI yang bergenre drama, tapi tidak memberikan emosi apapun bagi penontonnya selain hanya begitu saja menayangkan suatu tontotan di sebuah layar.
Jadi saya kira, dari suspense dan plot, film LB jauh lebih berhasil dibandingkan dengan EI, meskipun jelas perbedaan latar waktu tidak bisa menjadi satu deret pengukur yang sejajar di antara keduanya. Mengingat EI menceritakan orang Yahudi pasca holocaust.
Justru inilah yang menurut saya bisa digali lebih kaya. Melihat tragedi holocaust memiliki satu sejarah yang resmi, sedang nasib atau sejarah personal pasca tragedi tersebut tentu sangat berbeda satu sama lain yang mana sifatnya sangat subyektif. Tentu ini tanpa menisbikan bahwa EI berangkat dari sebuah novel.
Sama-sama diangkat dari sebuah buka, film Aimée and Jaguar (selanjutnya disebut AJ) secara tematik juga jauh lebih menarik dibandingkan dengan EI. Kuatnya penokohan dan karakter para pemain membuat film ini menjadi salah satu film yang paling saya rekomendasikan untuk ditonton selain LB.
Kompleksnya permasalahan sang tokoh jelas menjadi daya tarik tersendiri untuk membuat horison harapan penonton dimainkan. Selain bahwa adanya tema lain yang tak kalah dramatis memutarbalikkan konsep berpikir penonton. Mengingat dua tokoh inti dalam film AJ adalah perempuan yang dengan latar yang sama sekali berbeda dan menjadi sepasang kekasih.
Buku yang merupakan catatan harian dari kisah nyata tokoh Lilly dalam film ini, hal ini tentu tidak jauh berbeda dengan novel EI yang ditulis Foer berdasarkan dari riset dan imajinasi dari kedekatannya (sang kakek yang Yahudi) dengan tema tersebut. Apabila dalam novelnya (dari berbagai sumber di media), EI menceritakan tragedi Perang Dunia II, buku AJ memang berlatar masa-masa akhir Perang Dunia II, dan nampak dengan jelas sekaligus menjadi latar film AJ.
Surat dari Lilly untuk Felice,
March 31st, 1943
Felice, I love you! What a feeling it is to be able to say that! Oh, Felice, the nicest fate I could hope for is that of lasting happiness. I want to live with you for a long, a very long time, do you hear? And life is so beautiful, so wonderful. Felice, do you belong to me – without limit? To me only? Please say you do, at least for a very long time to come, please! Do you love me? I’m acting like a seventeen-year-old, arent’t I?
Be good to me, Felice, please? And yet please don’t hold back. I wanted to lure you out of your hiding place. I am like a child playing with fire; will I get burned? A little? Totally? Felice, stop me! Isn’t it just a little bit your fault that I’m so crazy, so totally crazy?

Film ini berlatarkan tahun 1943, saat sedang terjadi pengeboman Sekutu Berlin dan Gestapo. Salah satu dari mereka, Lilly Wust, menikah dengan seorang tentara dan menjadi ibu dari empat orang anak. Menikmati hak istimewa dari posisinya sebagai seorang “ibu” Nazi. Adalah Felice Schragenheim, seorang Yahudi dan menjadi anggota gerakan bawah tanah, yang menjadi kekasihnya. Setengah abad kemudian, Lilly Wust menceritakan kisah pribadinya ini kepada penulis Erica Fischer, dan kemudian terbut pertama kali di tahun 1994. Sama seperti novel EI, AJ-pun segera menjadi buku bestseller.
Aimée and Jaguar adalah julukan bagi kedua perempuan ini. Aimée adalah sebutan untuk Lilly yang penuuh kelembutan, sosok ibu Nazi yang paling pantas ditiru. Sedang Jaguar adalah julukan untuk Felice yang selalu penuh daya tarik dan mempesona di antara kemisteriusan yang menawan dan ketangguhannya yang penuh teka-teki.
Mengapa Jaguar? Bukan Dog? Mengingat istilah larangan Für Hunde und Juden Verboten adalah mengacu ke anjing, bukan jaguar. Jelas di sini terlihat keberpihakan seorang Nazi kepada kekasih yang dicintainya yang ternyata seorang Yahudi. Karenanya melalui film ini terlihat, bagaimana pada wilayah personal, seseorang tidak lantas begitu saja melakukan apa yang diyakini masyarakat umum yang membesarkannya. Dalam ini tentu saja tokoh Lilly yang merupakan bagian dari Nazi kepada Felice.
Bahwasanya hegemoni tidak pernah benar-benar mutlak. Simbol-simbol bagaimana percintaan mereka di atas ranjang hanyalah hal sederhanan yang bisa menjadi satu tanda bahwa pada satu wilayah tertentu (yang memang personal) si ‘terjajah’ melakukan hegemoni pada si ‘penjajah’ , ada ruang-ruang dimana posisi-posisi ini bisa terbalik dan memungkinkan masuknya resistensi dalam tingkat personal.
Penyebutan kata jaguar di surat-surat cinta Felice kepada Lilly jelas merupakan satu bentuk resistensi dari larangan yang bersifat arpheted tersebut. Dimana satu suku entitas menyamakan dan menyebut entitas yang lain dengan binatang. Penerimaan Lilly pada nama Jaguar merupakan satu bentuk ambivalensi seorang Nazi pada Yahudi.
Pada akhirnya, bisa saya katakan bahwa ketangkasan dan penuhnya AJ menjadikannya buku atau film yang selalu menarik untuk ditonton sekaligus didiskusikan. Pendeknya tidak akan cukup sekali saja menonton film ini. Sama halnya dengan LB, akan selalu membutuhkan energi yang berlebih untuk bisa menontonnya kembali, karena selian para tokoh berhasil mengajak penonton masuk ke dalam cerita yang mereka mainkan, kisah yang ada juga tangguh dan lebih mendekati kebenaran. Energi dan emosi yang bisa didapatkan oleh penonton dari LB dan AJ jelas tidak akan didapat dari EI, karenanya saya kira musti ada film lain untuk pembanding dan referensi yang lebih tangguh di kemudian hari perihal Yahudi pasca holocaust melanda mereka.

Referensi
Fischer, Erica. 1999. Aimee & Jaguar: A Love Story, Berlin 1943. Los Angeles: Alyson Books.
Film Everything is Illuminated.
Film Aimee and Jaguar.

 
2 Comments

Posted by on June 21, 2010 in Essay

 

Tags: , , , ,

Sejak Kapan Negara HARUS PEDULI pada masyarakat? 2

; salah satu tugas paper di kelas Teori-teori Budaya

Pak Roem, memangnya ada yang salah kalau sekolah menjadi candu bagi banyak orang….

MANUSIA SEHARUSNYA INGIN DAN BUTUH PERGI KE SEKOLAH
Mencermati kebiasaan-kebiasaan masyarakat Indonesia yang terkena sindrom PROTES, LAWAN dan SERANG pada banyak hal mungkin harus disikapi dengan sedikit lebih nakal. Pendeknya mencoba menakali manusia nakal dengan pikiran nakal. Salah satunya tentu saja tentang tuntutan masyarakat Indonesia pada pendidikan gratis atau sekolah gratis.

Banyak di antara aktifis pejuang hak asazi manusia sekaligus praktisi pendidikan yang menganggap keputusan pemerintah untuk mencanangkan wajib belajar adalah semata-mata kepentingan ekonomi dan politis semata. Selain karena akan adanya anggaran pemerintah untuk sejumlah sarana dan prasarana yang dikelola oleh beberapa gelintir orang dalam pemerintahan. Juga akses yang dianggap terlalu sulit bagi yang tidak memiliki uang, jelas di sini masyarakat kelas bawah. Pada akhirnya, banyak yang menganggap wajib belajar tidak lebih dari salah satu cara penghisapan kelas dalam tataran ekonomi oleh negara terhadap masyarakat, selain juga mem-panoptikonkan dalam satu penjara baru.

Untuk meningkatkan pembangunan suatu bangsa diperlukan critical mass di bidang pendidikan Hal ini membutuhkan adanya persentase penduduk dengan tingkat pendidikan yang memadai untuk mendukung pembangunan ekonomi dan sosial yang cepat. Program pendidikan dasar sembilan tahun merupakan salah satu upaya pemerintah untuk mewujudkan critical mass itu dan membekali anak didik dengan ketrampilan dan pengetahuan dasar: untuk melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi, untuk bekal menjalani kehidupan dalam masyarakat, untuk membuat pilihan-pilihan dan memanfaatkan produk-produk berteknologi tinggi, untuk mengadakan interaksi dan kompetisi antar warga masyarakat, kelompok, dan antar bangsa. Target. Target MDG adalah menjamin bahwa sampai dengan 2015, semua anak, di mana pun, laki-laki dan perempuan, dapat menyelesaikan sekolah dasar. Target itu sejalan dengan target Program Wajib Belajar Pendidikan Dasar Sembilan Tahun, yaitu meningkatkan partisipasi pendidikan dasar dengan indikator kinerja pencapaian.1

Adakah yang salah dengan suatu rekayasa sosial dari negara? Misalkan jelas tujuannya untuk kebaikan bersama? Sebuah perubahan masyarakat dalam mencapai bangsa yang madani. Bagi saya kemudian, mengatur masyarakat yang masih dipenuhi dengan orang-orang membabi buta harus dengan sedikit aturan yang lebih keras dan paksaan! Lantas kapankah sekolah akan menjadi suatu budaya dan kebiasaan bangsa kita? Tanpa adanya paksaan dan polisi atau pengawas berupa program Wajib Belajar dari negara.
Habitus adalah sebentuk kebiasaan sosial, tetapi supaya lebih jelas ada baiknya sedikit menjernihkan pemahaman tentang habitus. Akademisi yang selama ini dikaitkan dengan konsep habitus atau kebiasaan sosial adalah Pierre Bourdieu, seorang sosiolog Perancis yang hidup tahun 1930-2002. Dia mengatakan bahwa habitus adalah “Systems of durable, transposable dispositions, structured structures predisposed to function as structuring structures, that is, as principles which generate and organize practices and representations that can be objectively adapted to their outcomes without presupposing a conscious aiming at ends or an express mastery of the operations necessary in order to attain them. Objectively ‘regulated’ and ‘regular’ without being in any way the product of obedience to rules, they can be collectively orchestrated without being the product of the organizing action of a conductor.” 2

Ignas Kleden menarik tujuh elemen penting dari paparan Bourdieu itu, yaitu bahwa
a. Habitus adalah sistem atau perangkat disposisi yang bertahan lama dan diperoleh melalui latihan berulangkali (inculcation).
b. Dia lahir dari kondisi sosial tertentu dan karena itu menjadi struktur yang sudah diberi bentuk terlebih dahulu oleh kondisi sosial di mana dia diproduksikan (structured structures).
c. Akan tetapi disposisi yang terstruktur ini sekaligus berfungsi sebagai kerangka yang melahirkan dan memberi bentuk kepada persepsi, representasi dan tindakan seseorang dan karena itu menjadi structuring structures.
d. Sekali pun habitus lahir dalam kondisi sosial tertentu dia bisa dialihkan ke kondisi sosial yang lain dan karena itu bersifat transposable.
e. Habitus bersifat pra-sadar (preconscious) karena dia tidak merupakan hasil dari refleksi atau pertimbangan rasional. Dia lebih merupakan spontanitas yang tidak disadari dan tak dikehendaki dengan sengaja, tetapi juga bukanlah suatu gerakan mekanistis yang tanpa latarbelakang sejarah sama sekali.
f. Bersifat teratur dan berpola tetapi bukan merupakan ketundukan kepada peraturan-peraturan tertentu. Habitus tidak merupakan a state of mind tetapi a state of body dan menjadi the site of incorporated history.
g. Habitus dapat terarah kepada tujuan dan hasil tindakan tertentu tetapi tanpa ada maksud secara sadar untuk mencapai hasil-hasil tersebut dan juga tanpa penguasaan kepandaian yang bersifat khusus untuk mencapainya. 3

Pemahaman Bourdieu tentang habitus adalah perilaku yang bersifat ‘positif.’ Sebagai contoh adalah habitus antri, mematuhi rambu lalu-lintas, dan lain sebagainya yang selalu diawali dengan pemaksaan dan pengorbanan di awalnya.

PENDIDIKAN BUKAN HAL MURAH
Sekolah Adalah Candu, demikian judul sebuah buku yang ditulis oleh praktisi pendidikan, Roem Topatimasang. Sekurang-kurangnya, buku tersebut mencoba mengkritisi sistem pendidikan yang ada di Indonesia. Bagi yang tidak membaca dengan jeli, mungkin dengan cepat akan berpikir bahwa pendidikan dalam hal ini sekolah, tidak akan pernah menjadi penting dan dibutuhkan bila di Indonesia. Sekolah bukanlah hal penting. Atau memang hanya itu yang ingin disampaikan Roem? Bahwa sekolah adalah omong kosong yang sama sekali tidak berguna!
Karenanya begitu film Denias karya Alenia Production muncul, yang mana menceritakan tentang sosok remaja yang bersemangat dan tergila-gila pada sekolah, banyak tanggapan kurang menyenangkan dan mentertawakan esensi film tersebut. Bagi mereka nilai yang didapat dari film Laskar Pelangi yang diawali dari sebuah novel semi autobiografi karya Andre Hirata jauh lebih masuk akal. Sebab apa? Nampak sungguh bagaimana penulis Laskar Pelangi mengkritisi pemerintah tanpa memberi satu posisi tawar yang cukup beradab pada pemerintah dalam hal pendidikan.

“Kalau pemerintah mewajibkan rakyatnya belajar selama 9 tahun, adalah hal yang baik selama Pemerintah bertanggung jawab atas rencananya. jangan hanya pandai membuat rencana, yang melaksanakan dan membiayainya rakyat juga, itu namanya
BOHOOONG.Mendingan nggak usah pakai program-programan, yang wajib belajarlah, anak asuhlah dan lain sebagainya, tapi akibatnya tetap sama- Mahalnya biaya sekolah, mulai dari uang pendaftaran, uang sekolah, uang, uang,uang apa lagi ya?
Pada saat ini yang penting kita harus belajar menyiasati mahalnya harga pokok sehari-hari, mulai dari 9 bahan pokok, biaya jasa, biaya berobat dengan uang gaji yang malu-malu untuk mengikuti trend harga dipasaran, jelasnya ya kita wajib belajar terus menerus, bukan hanya 9 tahun.”

Tulisan itu saya dapatkan di sebuah akun pribadi seseorang, dan saya kira ada banyak orang di Indonesia memiliki pendapat yang sama dengan tulisan tersebut. Nampaknya perihal pendidikan selalu menarik bagi banyak orang untuk membicarakannya. Masa jatuhnya orde baru banyak tokoh politik meneriakkan sekolah gratis bagi masyarakat.
Dengan senang hati, saya akan memposisikan diri sebagai seseorang yang meyakini bahwa pendidikan bukan barang murah-an-, meski pendapat itu tidak lantas membenarkan bahwa pendidikan harus mahal. Tentu saja yang saya maksud di sini adalah pendidikan formal akademis yang dinamakan sekolah. Ada lagi satu kutipan yang menarik dari seorang praktisi pendidikan,

Pendidikan tinggi ternyata belum mampu menolong bangsa, bahkan menimbulkan persoalan bangsa karena banyak yang tidak mampu terserap lapangan kerja. Di sisi lain banyak lapangan kerja yang terbuka namun potensi yang memasukinya tidak mampu atau tidak mau karena merasa posisinya rendah. Banyak orang berijazah perguruan tinggi dari luar negeri, tetapi keadaan bangsa ini semakin terseok-seok. Apakah ini sebagai bagian dari pola pendidikan yang terjadi yaitu, “examen cultus” dan “diploma jact.” Sehingga menghasilkan kehidupan yang matrealistis jauh dari jati diri bangsa, sebab mengabaikan kebudayaan.5

Kenyataan yang bisa diluhat dalam pendapat Sutomo Parastho tersebut jelas bahwa tujuan awal dari sekolah telah dipelintir sedemikian rupa tidak hanya oleh akademisi, namun juga negara. Selain juga meletakkan pendidikan sebagai sistem yang ambigu dengan daulat bangsa yang dia yakini. Sejak kapan sekolah bertugas menjadikan seseorang mendapatkan pekerjaan? Saya rasa, niat awal sekolah adalah mendidik murid-muridnya untuk mendapatkan ilmu.

Kalau memang urusannya perihal tuntutan harus mendapat pekerjaan, itu tentu tidak bisa lepas/berkesinambungan dengan program-program lain yang dilakukan negara dan tentu saja juga banyak diprotes masyarakat bersama para aktifis dan “orang pintarnya.” Contoh sederhana, yang mungkin naif adalah program KB. Sederhananya dengan kontrol jumlah manusia, bisa jadi negara lebih tidak amburadul dalam mengatur dan memberikan fasilitas terhadap anak-anak bangsanya, dalam hal ini pendidikan tentu saja.
Sebab rupa-rupanya kebiasaan memprotes dan mengadili negara jauh lebih bersifat revolusioner dibanding evolusioner. Tampil sebagai pahlawan bagi rakyat kecil dan kelas bawah dianggap pekerjaan sexy bagi sebagian banyak orang, tanpa mampu memberikan solusi riil dan konkrit terhadap masyarakat dan bangsa. Ya, meski negara tanpa koreksi juga seperti membiarkan kuda kekuasaan berlarian memporandakan kebun dan sawah kita.


SEJAK KAPAN NEGARA HARUS MEMIKIRKAN NASIB BANGSANYA?

Sejak kapan masyarakat menjadi begitu apatis terhadap negara? Sehingga terlampau dilanda penyakit curiga akut terhadap seluruh program dan sistem yang dicanangkan pemerintah? Jawabannya tentu bukan seperti yang dilontarkan orang-orang pintar di dalam kelas yang sibuk menganaktirikan seluruh kebijakan pemerintah dengan balik bertanya, Sejak kapan kami harus peduli ketika hidup kami lebih banyak diacuhkan milik J.F Kennedy. Lantas begitu saja, GOLPUT dan diam adalah perilaku paling alami [bijak?] dari semuanya. Kalau kami bergerak, ada moncong senapan siap memecahkan kepala kami. Karenanya yang tidak sengaja tertembak di sebuah demonstrasi adalah PAHLAWAN Banyak dari kita, andakah itu? yang menganggap negara sebagai kolonialisasi berkedok homo homini lupus. Menganggapnya sebagai mesin penghisap yang tangguh bagi masyarakatnya demi kepentingan sendiri dan atau beberapa gelintir orang.
Atau alih-alih menjelma (mengatasnamakan) perantara lidah rakyat mereka menjadi mesin penyerang yang tangguh untuk merongrong seluruh sistem yang tengah dijalankan negara. Termasuk di dalamnya adalah sistem pendidikan/sekolah. Mengatasnamakan; sekian ribu buruh; sekian ribu petani; sekian ribu nelayan; sekian ribu pengangguran; sekian ribu TKW dengan selembar jawaban itu tadi. Lalu saat anda tidak peduli pada negara, lantas mengapa memaksa pemerintah memberikan sekolah gratis ke anak dan cucu? Kalau kita sendiri membiarkan anak-anak bolos sekolah dan tidak bertanggungjawab pada hak yang diberikan?
Sebab nampaknya, psikologis bangsa tengah didoktrin dengan wacana “psikologis korban” untuk menjadikan mereka lebih pandai memposisikan diri sebagai korban dari seluruh sistem yang berlangsung dan dijalankan negara. Dalam hal ini tentu saja, negara dianggap mutlak sebagai satu-satunya penjahat yang paling dan harus bertanggungjawab terhadap nasib bangsa beserta homo sapiens-nya. Masyarakat kita cenderung lebih paham cara menuntut hak tanpa memikirkan kewajiban dan tanggungjawab yang lebih besar lagi terhadap bangsa dan negara.

SEBAB SEKOLAH ADALAH SEKOLAH
Sekolah atau school diambil dari kata Latin skhole, scola, scolae, (dipakai sekitar awal abad XII) yang secara harafiah berarti waktu luang atau waktu senggang. Dengan demikian agaknya bersekolah pada awalnya tak lain adalah leisure devoted to learning atau waktu luang yang digunakan secara khusus untuk belajar, dimana para orangtua yang saat itu sibuk bekerja di luar rumah menitipkan anak-anak mereka yang biasanya berusia anak-anak dan remaja kepada seorang -yang dianggap- guru untuk mendengarkan cerita dan dongeng.
Plato dan Aristophanes adalah orang-orang yang dianggap pertama kali meninggalkan catatan tertulis mengenai ruang kelas dan sekolah. Pada masanya sekolah pertama di Athena, hanya merupakan tambahan dari suatu program pendidikan yang berfokus pada latihan kemiliteran, musik, atletik dan puisi. Sedangkan untuk membaca, menulis dan berhitung hanya sebagai tambahan saja. Pendidikan di Athena sendiri bersifat tutorial dimana seringkali bersifat erotik. Sampai kemudian terjadi perubahan pada masyarakat Athena dimana pendidikan berubah menjadi pengajaran kelompok.

Lantas kapankah istilah sekolah ini menjadi sedemikian populer di jaman modern ini? Sejauh ini sebagian para ahli percaya, bahwa pendidikan berasal dari beberapa akar peradaban. Salah satu diantaranya adalah peradaban Mesir Sumer, dimana muncul pertama kali berupa ruang kelas orang-orang Mesir Sumer yang dibangun untuk menampung sekitar 30 orang anak. Penemuan ini membawa orang-orang terhadap sebuah spekulasi bahwa ukuran ruang kelas umum di zaman modern mungkin didasarkan atas ruang-ruang kelas dari batu merah dan arsitektur orang-orang Sumer. Jadi pemahaman mengenai masa-masa awal pendidikan dapat dimulai dari Mesir Kuno, yakni sekitar tahun 3000 hingga 5000 sebelum Masehi.

Socrates mengatakan; true knowledge existed within everyone and needed to be brought to consciousness. Pengetahuan sejati ada di dalam setiap orang dan perlu disadari. Pendekatan yang Socrates lakukan adalah dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan penggalian pikiran murid-muridnya dalam memahami makna kehidupan secara lebih mendalam. Bukan pada tujuan untuk membuat para murid mendapatkan pekerjaan di sebuah tempat.

Tentu saja yang juga harus disebutkan secara khusus adalah peran Fiedrich Froebel yang pertama kali membuka kindergarten (Taman Kanak-kanak) di Blankenburg, Jerman yang kemudian konsepnya dibawa ke Amerika.
Dalam 20 tahun terakhir Indonesia telah mengalami kemajuan di bidang pendidikan dasar. Terbukti rasio bersih anak usia 7-12 tahun yang bersekolah mencapai 94 persen. Meskipun demikian, negeri ini masih menghadapi masalah pendidikan yang berkaitan dengan sistem yang tidak efisien dan kualitas yang rendah. Terbukti, misalnya, anak yang putus sekolah diperkirakan masih ada dua juta anak.
Indonesia tetap belum berhasil memberikan jaminan hak atas pendidikan bagi semua anak. Apalagi, masih banyak masalah yang harus dihadapi, seperti misalnya kualifikasi guru, metode pengajaran yang efektif, manajemen sekolah dan keterlibatan masyarakat. Sebagian besar anak usia 3 sampai 6 tahun kurang mendapat akses aktifitas pengembangan dan pembelajaran usia dini terutama anak-anak yang tinggal di pedalaman dan pedesaan.

Anak-anak Indonesia yang berada di daerah tertinggal dan terkena konflik sering harus belajar di bangunan sekolah yang rusak karena alokasi anggaran dari pemerintah daerah dan pusat yang tidak memadai. Metode pengajaran masih berorientasi pada guru dan anak tidak diberi kesempatan memahami sendiri. Metode ini masih mendominasi sekolah-sekolah di Indonesia. Ditambah lagi, anak-anak dari golongan ekonomi lemah tidak termotivasi dari pengalaman belajarnya di sekolah. Apalagi biaya pendidikan sudah relatif tak terjangkau bagi mereka.6

Mungkin saja adalah keharusan, sebuah institusi sekolah bertujuan mempersiapkan Sumber Daya Manusia yang tangguh. Tapi tidak lantas diartikan ‘menjanjikan’ si SDM ini mendapatkan sebuah pekerjaan yang diinginkan setelah merasa cukup mengambil suatu tingkat pendidikan. Karena kesalahan yang membudiaya ini, tidak saja di kalangan masyarakat tapi juga institusi yang menjanjikan “lulus pendidikan anda langsung kerja” membuat masyarakat semakin apatis terhadap sekolah dan negara pada khususnya. Rupa-rupanya belum ada wacana yang memadai apa itu pendidikan dan seberapa dekat hubungannya dengan sekolah.

PENDIDIKAN ITU HARUS, SEKOLAH SALAH SATU CARANYA
Ki Hadjar Dewantara mungkin salah satu dari sedikit tokoh di Indonesia yang cukup konsisten dan serius memikirkan dan memberikan kerja konkrit di dunia pendidikan secara global. Dia juga yang berpendapat bahwa pendidikan kolonial harus diganti dengan sistem paguron yang kemudian dia realisasikan dengan mendirikan Tamansiswa.
Waktu itu Ki Hadjar Dewantara melihat sistem paguron adalah model yang pas dengan kepribadian dan budaya bangsa. Hal ini konon merupakan hasil kontemplasi dia dari pergaulan yang cukup luas dan panjang di dunia politik, pendidikan, seni dan budaya. Lantas apakah di masa sekarang itu cocok dan masih diberlakukan di Indonesia dan Tamansiswa pada khususnya?
Sistem paguron berbeda dengan sistem sekolah. Pada sistem ini, pengajar dan murid berada di satu lokasi yang sama dalam kesehariannya dan berlangsung dalam waktu yang lama. Selama berbulan-bulan, murid yang dititipkan oleh orangtua kepada guru/pamong akan meninggali sebuah asrama. Akibatnya, dari pagi, siang sampai malam, para murid akan bersama dan berada di bawah pengawasan para pamong. Tentu yang model begini tidak lagi dianggap cocok dan cenderung dijauhi masyarakat umum. Kecuali model pesantren yang memang masih diminati kelompok tertentu; umat Islam.

Para pejuan hak asazi manusia tentu akan menganggap bahwa sistem among yang merupakan ide dari Ki Hadjar Dewantara sebagai model Panoptikon gaya baru yang mengatasnamakan pendidikan menyeluruh. Jadi bagaimana dengan sekolah di masa kini yang cenderung lebih demokratis dan tidak mengikat secara menyeluruh? Hanya saja diwajibkan oleh negara.
Pendidikan dasar adalah jenjang pendidikan awal selama 9 tahun pertama masa sekolah anak-anak yang melandasi jenjang pendidikan menengah. Di akhir masa pendidikan dasar selama 6 tahun pertama (SD/MI), para siswa harus mengikuti dan lulus dari Ujian Nasional untuk dapat melanjutkan pendidikannya ke tingkat selanjutnya (SMP/MTs) dengan lama pendidikan 3 tahun. Sektor pendidikan telah menjadi fokus perhatian yang penting di antara para mitra pembangunan dalam dua tahun terakhir, didorong terutama oleh keinginan membantu Indonesia mencapai Tujuan Pembangunan Milenium (MDG). Karenanya menjadi wajar dan harus bagi negara untuk berupaya mencapai tujuan tersebut. Bukankah ini kemudian akan terkait erat dengan maraknya konsep sekolah = harus mendapat pekerjaan setelah lulus di kalangan masyarakat dan praktisi. Meski jelas, ini melenceng dari asal mula sekolah di jaman dulu.
Negara, telah berupaya untuk meningkatkan daya saing nasional dan mengurangi kemiskinan melalui Rencana Strategis Jangka Menengah. Meskipun ya, tentu saja masih dengan banyak kekurangan di sana-sini, ditambah lagi dengan protes dan kemanjaan masyarakat secara luas. Tujuan negara perihal wajib belajar atau pendidikan dasar mustinya menjadi budaya belajar dan kebutuhan bersama. Dimana tujuan ini memberi sifat sosial, karena tujuannya memang untuk kepentingan bersama.

Adanya tujuan sosial jelas menegaskan bahwa habitus seharusnya bersifat positif. Dengan tujuan untuk kesejahteraan bersama itu pulalah, membedakan arti habitus dengan kebiasaan sosial dalam kerangka etika dan sopan-santun. Sebagai contoh adalah saat seseorang memberikan suatu barang/benda dengan menggunakan tangan kanan. Kebiasaan yang cukup umum dalam masyarakat Indonesia ini memang bisa dikatakan sebagai kebiasaan sosial. Memberi dengan tangan kanan dipandang lebih santun meski tidak akan menimbulkan kerugian apabila tidak dilakukan.

Contoh lain adalah kebiasaan memakai dasi di tempat kerja. Kebiasaan sosial yang relatif baru ini juga tidak begitu saja bisa dikategorikan sebagai habitus strictu senso. Nilai yang mau dituju lebih berkaitan dengan kesantunan baru, atau malah sekedar keindahan saja. Bahkan, kalau diperhatikan lebih jauh, malah bisa berarti negatif, karena pakaian berdasi lebih membutuhkan pendingin ruangan daripada pakaian tanpa dasi. Perlu diingat bahwa pemakaian pendingin ruangan yang berlebihan juga menyumbang lebih banyak pada terjadinya global warming! Pada ujung segala permasalahan yang ada, misalkan terjadi sesuatu negara juga yang akan disalahkan.

REKAYASA SOSIAL DALAM PENDIDIKAN ADALAH HARUS!
Dari uraian di atas, makin jelas bahwa kebiasaan memprotes dan menganggap sekolah tidak penting adalah hal yang menyedihkan. Jika kita perhatikan, habitus senantiasa mengandung dimensi sosial atau kebersamaan hidup yang kental. Demikian halnya dengan pendidikan dasar, yang mengacu pada arti penting sekolah. Secara implisit dikatakan bahwa habitus dibentuk dengan pembelajaran yang lama. Dalam hal ini, membudayakan sekolah memang membutuhkan pembelajaran dan proses penyadaran yang lama. Tentu juga dengan adanya pemaksaan, pengorbanan sekaligus pengawasan. Spontanitas manusia adalah spontanitas tidak mau repot, mengingat habitus pada awalnya dijalankan dengan keterpaksaan dan pengorbanan.

Disinilah perubahan sosial yang berujung pada pembentukan habitus memerlukan sebuah rekayasa sosial. Dengan kata lain, rekayasa sosial adalah conditio sine qua non dan seharusnya tidak berarti negatif. Rekayasa sosial yang hampir selalu bersifat struktural adalah sarana bantu manusia untuk mengisi kekurangannya. tentu saja dengan melalui sistem, struktur dan pengaturan yang berimbang. Sebab saya masih percaya, tanpa adanya sistem dan struktur manusia cenderung lebih mudah ditunggani kuda kekuasaan dari dalam dirinya sendiri untuk menjadi anarki bagi sesama.

Berbicara kesempatan, saya kira semua orang memiliki hak yang sama untuk mendapatkan pendidikan di sekolah. Kalau perjalanan mencapai bangku sekolah dianggap begitu kurangajar dan politis-nya, maka kemudian saya menganggap bahwa itu sebuah cara tersendiri dalam belajar -sekolah alami- dan pertarungan sendiri untuk membudayakan sekolah dalam diri saya. Jadi yang gagal dan tidak berhasil melaluinya adalah mereka yang kalah dan kurang tekun membudayakan pendidikan dalam dirinya.
Kalau sekolah hanyalah perkara sepele dalam ranah aktifitas konserfatif dan pembodohan, maka saya lebih senang mengatakan; kalau hal sepele dan konserfatif saja anda tidak bisa menyelesaikannya bagaimana bisa anda melakukan pekerjaan yang tidak sepele kawan!

__________________________________________________
1. Laporan Perkembangan Pencapaian Tujuan Pembangunan Milenium Indonesia, yang dimuat dalam situs Bappenas. http://www.bappenas.go.id/get-file-server/node/1202/
2. Pierre Bourdieu, seorang sosiolog Perancis yang hidup tahun 1930-2002. Menuliskan dalam bukunya yang berjudul The Logic of Practice.
3 .(http://XXXX.blogspot.com, sebuah forum diskusi yang saat itu sedang membicarakan sistem pendidikan di Indonesia. Tidak berebda dengan situs-situs lain yang banyak mencurigai dan memprotes seluruh kebijakan pemerintah (negara) dalam blog inipun hampir seluruh pesertanya menganggap bahwa program pemerintah tentang wajib belajar hanya menyusahkan mereka. Karenanya mereka menganggap bahwa sekolah itu tidak perlu!
4.Tulisan Sutomo Parasthoini tentu saja disinyalir dari pidato Ki Hadjar Dewantara sewaktu memberikan pidato pengukuhan peneriman gelar Doktor Honoris Causa dari Universitas Gajah Mada, pada tanggal 7 November 1956. Hal ini saya rasa begitu ganjil dan paradoks dengan tujuan dari sistem among yang dianut paguron Tamansiswa dimana Ki Hadjar Dewantara sendiri (tentu saja bersama beberapa orang tokoh lain) yang menggagas dan mendirikannya.
5 .Ignas Kleden, “Habitus: Iman dalam Perspektif Cultural Production” dalam RP Adrianus Sunarko, OFM dkk (eds.), Bangkit dan Bergeraklah: Dokumentasi Hasil Sidang Agung Gereja Katolik Indonesia 2005, Jakarta: Sekretariat SAGKI 2005, hal. 361-375.
6. http://www.unicef.org/indonesia/id/education.html. Situs resmi dari UNICEF ini mencoba memberikan pengantar program yang sedang mereka jalankan bersama pemerintah Indonesia berkaitan dengan pendidikan dasar 9 tahun bagi masyarakat Indonesia.

REFERENSI TAMBAHAN:
Anderson, Benedict. Imagined Communities; komunitas-komunitas terbayang. Yogyakarta: INSISTPress. 2001
Bourdieu, Pierre. The Logic of Practice. Stanford: Stanford University Press. 1990
Dwiarso, Priyo dkk. Kebangkitan Pendidikan Nasional; menggali butir-butir pemikiran pendidikan Ki Hadjar Dewantara untuk memaknai kebangkitan nasional. Yogyakarta: Trah Pakualaman Hudyono. 2008
Engels, Frederick. Asal-Usul keluarga, Kepemilikan Pribadi, dan Negara. Jakarta: Kalyanamitra. 2004
Postman, Neil. Matinya Pendidikan; redefinisi nilai-nilai sekolah. Yogyakarta: Jendela. 2002.
Sanderdon, Stephen K. Makro Sosiologi; sebuah pendekatan terhadap realitas sosial. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. 2003
Sudarto, Tyasno. Pendidikan Modern dan Relevansi Pemikiran Ki Hadjar Dewantara. Yogyakarta: Galangpress. 2008
Topatimasang, Roem. Sekolah Itu Candu. Yogyakarta: INSISTPress. 2007

 
1 Comment

Posted by on January 8, 2010 in Essay

 

Tags: , , , , , , , ,

herlinatiens: Sejak Kapan Negara HARUS PEDULI pada masyarakat?

; sebuah tawaran untuk tidak mudah terbakar [setelah membaca sebuah berita di koran pagi ini tentang penggusuran lapak di sebuah ruas jalan].

Sejak kapan negara harus bertanggungjawab terhadapat masyarakatnya [yang terlampau kronis mengkeparatkan negara]? dan sejak kapan masyarakat menjadi begitu apatis terhadap negara?
Jawabannya tentu bukan seperti yang dilontarkan orang-orang pintar di dalam kelas yang sibuk menganaktirikan seluruh kebijakan pemerintah dengan balik bertanya: SEJAK KAPAN KAMI HARUS PEDULI KETIKA HIDUP KAMI LEBIH BANYAK DIACUHKAN milik J.F Kennedy.

Lantas begitu saja, GOLPUT dan diam adalah perilaku paling alami [bijak?] dari semuanya.
Kalau kami bergerak, ada moncong senapan siap memecahkan kepala kami.
Karenanya yang tidak sengaja tertembak di sebuah demonstrasi adalah PAHLAWAN [yihaaa, are you kidding me darling?]

Banyak dari kita, andakah itu? yang menganggap negara sebagai kolonialisasi berkedok homo homini lupus. Menganggapnya sebagai mesin penghisap yang tangguh bagi masyarakatnya demi kepentingan sendiri. Saya sendiri manusia yang butuh aturan, terlepas hanya sebatas aturan yang saya buat sendiri. Masalahnya saya sendiri sering lupa, apakah aturan itu mengganggu orang lain atau tidak…bayangkan misal seluruh rakyat Indonesia [yang terlampau saya cintai ini] sama seperti saya, apa ndak saling bunuh ini orang??? Karenanya saya butuh sebuah aturan yang mengikat. Meski itu bukan berarti dipanoptikonkan…

Atau alih-alih menjelma [mengatasnamakan] perantara lidah rakyat menjadi mesin penyerang yang tangguh untuk merongrong seluruh sistem yang tengah dijalankan negara. Mengatasnamakan; sekian ribu buruh; sekian ribu petani; sekian ribu nelayan; sekian ribu pengangguran; sekian ribu TKW dengan selembar jawaban itu tadi. Lalu saat anda tidak peduli pada negara, lantas mengapa memaksa pemerintah memberikan sekolah gratis ke anak dan cucu? Kalau kita sendiri membiarkan mereka bolos sekolah dan tidak bertanggungjawab pada hak yang diberikan? Nah lhoh, itu baru sekolah sedikit dikasih subsidi, bayangkan kalau murah pula. APALAGI gratis…yg bener aja bung!
Hei Bung, pendidikan bukanlah barang murah[an], meski tidak lantas saya membenarkan sebagai suatu kemewahan…

Taufik Ismail, seorang penyair yang konon tidak pernah dipenjarakan di jaman Orde Baru ini entah oleh apa, kurang dari setahun paska jatuhnya ORBA segera mengeluarkan buku berjudul MALU AKU JADI ORANG INDONESIA. Kelak saya berharap ada antologi syair yang lebih manis dengan judul BANGGA SAYA MENJADI ORANG INDONESIA.

Sebagian dari anda mungkin akan bertanya, Indonesia sebelah mana? Indonesia itu apa? ah yang benar. Jangan-jangan itu hanya klaim anda sebagai bangsa yang merasa menjadi bangsa penerus. Penerus kolonial mana?

Menjadi komentator dan korektor menempati timbangan yang sama gampangnya dengan menjadi koruptor.
Sejak orang-orang pintar makin pandai mengkoreksi dan memberikan nilai ZERO pada negara, tanpa menawarkan satu penguat yang solid bagi keutuhan bangsa [tunggu dulu jangan tergesa marah dengan bertanya bangsa yang mana?] ya sama aja bohongnya. Main koreksi tanpa menawarkan satu kerja konkret selain berbuih-buih mengatasnamakan kelompok buruh dan TKW mendemo pemerintah.

Saya memang naif dalam menyikapi hal tersebut. Jadi apakah ada yang salah dengan bersikap naif dan sekaligus mencurigai kerja-kerja teman-teman yang pintar di luar sana dalam mengkoreksi negara?
Saya curiga, benarkah itu kerja untuk masyarakat kelas bawah atau hanya untuk esksistensi yang pada akhirnya jatuh juga pada satu tujuan permainan misi ke istana?
Hei Bung, masih banyak dari kita yang lebih senang mengendarai mobil pribadi daripada kendaraan umum yang ditawarkan. Saya sendiri masih demen pake taksi daripada naik bus. Banyak copet sih! eit, bukan sampah yang saya bicarakan, karena saya pernah menjadi korban pencopetan beberapa kali.

NEOLIBERALISME…
Saya kira, saya lebih senang jatuh di tangan penjahat baik hati dibandingkan jatuh di tangan pahlawan kesiangan…

Pada masa terpilihnya kembali SBY menjadi presiden RI, isu yang ramai dibicarakan adalah neoliberalisme. Saat muncul tulisan NEOLIBERALISME di spanduk-spanduk kampanye di masa kemarin, benarkah masyarakat kita paham benar dengan kondisi dan tawaran yang ada? Neoliberalisme yang dianggap seorang penulis buku [Neoliberalisme dan Restorasi Kelas Kapital] sebagai kapitalisme liar dan lebih berbahaya dari sekedar kapitalisme lantas dikait-kaitkan dengan permainan tingkat tinggi beberapa terdakwa. Boediono yang kemudian menjadi wakil SBY, banyak mendaoatkan dampak dari isu yang digelintirkan tersebut. Banyak dari media kita dengan seluruh kepentingannya mempermainkan asumsi masyarakat dengan sewenang-wenang.

Pada akhirnya…
Kalau masalahnya hanya soal menggulingkan pemerintahan dan mengahncurkan negara, saya kira tidak perlu dengan mengatasnamakan kelompok tertindas untuk mendapatkannya. Kalau masalahnya hanya ingin menjatuhkan sistem yang sedang berlangsung [bukan koreksi demi perubahan yang-dianggap- lebih baik] tanpa menawarkan solusi konkrit dan mengajukan siapakah yang memang benar-benar bisa menjadi lokomotif perubahan yang diharapakan seluruh masyarakat yang dilanda penyakit komplikasi dan kronis ini ya ndak usah mengatasnamakan semangat nasionalisme. TUNGGU DULU, nasionalisme yang mana?
tentu bukan tugas saya pagi ini untuk menjawabnya…

Yogyakarta, 6 Januari 2010

 
Leave a comment

Posted by on January 8, 2010 in Catatan Hari Ini, Essay

 

Tags: , ,

Antara Saya dan Gurita Cikeas

; menanggapi banyak pertanyaan yang dikirimkan pada saya sekaligus munculnya pages dan group Gurita Cikeas di facebook

Mari mencoba bermain-main sebentar. Mencoba mengujikaitkan antara semiotika dengan bahasa media. Buku Gurita Cikeas, rupa-rupanya menjadi satu kajian yang menarik bagi banyak penikmat dan penganut semiotika khususnya dan masyarakat luas. Baik yang me’nyampahkan’ maupun yang memujanya.

Sepulang dari Jakarta, saya mendapatkan buku Gurita Cikeas, buku tersebut berjalan dari Galangpress [yang juga menerbitkan buku-buku saya] melalui sang direktur yaitu Julius Felicanus dan penulisnya yang tak lain adalah salah seorang dosen saya sendiri saat ini, George Junus Aditjondro, ke tangan Ki Tyasno Sudarto [seorang purnawirawan] lalu ke tangan Ki Priyo Dwiarso [sekum di Majelis Luhur] lalu ke tangan saya.

Hari-hari sebelumnya, banyak orang mengirimkan sms dan menelepon saya untuk bertanya perihal buku tersebut, mungkin saja itu dikarenakan pengetahuan mereka perihal kenyataan bahwa saya adalah salah seorang mahasiswa yang diajar George.

Sebelumnya saya sudah katakan di tulisan sebelumnya, bahwa di kelas pertama kami saya menghampirinya dan bicara; Selama kelas saya mual dan cepat-cepat ingin mengakhirinya dengan keluar dari kelas. Nampak sekali betapa keberpihakan terhadap Aceh digambarkan dengan nyata. Bagi saya, LSM tak lebiih dari sekelompok manusia patah hati yang mengatasnamakan komunitas tertentu untuk mereka makan….[dan masih panjang lagi]

George bertanya, “Jadi minggu depan, kau tidak akan ikut kuliah saya lagi herlina?” saya jawab, “Oh justru karena hal itulah, saya akan selalu datang di kelas Bapak.”

Menghadapi George di kelas hampir saja tidak menyisakan ruang perbedaan dengan yang nampak di forum diskusi. Hanya saja, pemotongan tayangan adegan George dan Pohan nampak sekali adanya semacam keberpihakan media terhadap Pohan. Hanya ada sekian detik saja untuk mengarah pada angle utama yang mau dibidik media. Dimana bagi penonton yang tidak tahu persis kejadian di forum launching buku tersebut akan sekonyong-konyong mentertawakan dan mengkeparatkan George sebagai manusia banti kritik. Atau jangan-jangan memang begitu George???

Dalam ranah yang sederhana, semiotika dan bahasa media nampaknya dapat menjadi satu diskusi yang menarik. Bukan saja karena persoalan filosofis mendasar yang acapkali menjadi perdebatan, melainkan juga karena tidak ada jalur tunggal untuk membongkar praktik pertandaan (baca: bahasa) media.

Klaim umat semiotika dalam ayat yang paling sederhana adalah: bahwa di BALIK BAHASA MEDIA seringkali menyimpan/mengandung tanda misterius. Dan terpujilah para guru besar SEMIOTIKA, dimana semiotika dipercaya sebagai salah satu jembatan untuk menangkap dan menelanjangi kemisteriusan tersebut.

Konsep mengenai representasi hadir menempati tempat baru dalam studi budaya. Dalam kaitannya dengan dunia komunikasi, secara spesifik Alan O Connor menggambarkan budaya sebagai proses komunikasi dan pemahaman yang aktif dan terus-menerus. Artinya kemudian menjadi jelas bahwa masing-masing pemaknaan orang tentang budaya akan sangat tergantung pada pemahaman subyektif antaraktor atau subyek di dalam lingkungan kebudayaannya. Dalam konteks ini, ketika pemberitaan dipandang sebagai produk kebudayaan, maka menjadi penting untuk melihat bagaimana media memproduksi dan mempertukarkan makna melalui praktik bahasanya.

Pada kutub yang berlawanan, sebagian lagi mengatakan bahwa apa yang tersaji dalam media merupakan representasi. Realitas yang tampil di media merupakan hasil konstruksi yang boleh jadi telah mengalami penambahan maupun pengurangan karena turut campurnya faktor subyektivitas dari pelaku representasi alias orang-orang yang terlibat dalam media. MetroTv mungkin akan nampak lebih berpihak kepada George, mengingat relasi kuasa yang ada, dimana ownernya mengalami sedikit gesekan dengan sang aktor dalam Gurita Cikeas yang dimaksud. Lantas bagaimana dengan RCTI dan TVOne? tunggu dulu….sabar sebentar sebelum anda tergesa bilang TVOne jelas lebih netral. Are you kidding me? Kemenangan Bakrie di GOLKAR tentu tidak bisa lepas dengan uji nyali bersama aktor-aktor yang dimaksud dalam Gurita Cikeas.

Tanda [rekaman yang nampak di pembaca] yang dimainkan dengan super serius dari media berkaitan dengan pemukulan George terhadap Ramadhan Pohan jelas telah diolah sedemikian rupa [untuk tidak mengatakan dimanipulasi] oleh media. Hai dude, ini jelas terlepas dari kualitas/benar-salah/dosa-pahala buku Gurita Cikeas.

Jelas kemudian dengan tayangan-tayangan yang disajikan televisi kepada penonton begitu mempengaruhi pendapat dan sikap masyarakat yang melihatnya. Saya perhatikan banyak yang main berpendapat tanpa menyentuh buku Gurita Cikeas apalagi membacanya. SO DARLING what’s going on here? Mau buku itu sebegitu imajiner-nya kalau loe pade belum pada baca ndak usah dulu protes dan mencaci atau memuji dan memuja”Gurita Cikeas” apalagi George dalam ranah ini.

Sudah saatnya berpendapat dengan cara pandang sendiri menghadapai tanda yang sebenarnya, dalam hal ini tentu saja si buku GURITA CIKEAS, bukan pemberitaan-pemberitaan yang seringkali semakin menjatuhkan anda di lorong labirin itu!

salam sayang
herlinatiens

Yogyakarta, 4 Januari 2010

 
Leave a comment

Posted by on January 4, 2010 in Essay

 

Tags: ,

INTRODUCTION on some questions preliminary to any possible discussion on Lacan and the politic

INTRODUCTION
on some questions preliminary to any possible discussion
on Lacan and the politic

Sebagai seorang filsuf mistik, Lacan memulai “kembali ke Freud” dengan pembacaan linguistik psikoanalitik. dengan rumusnya yang paling terkenal: “bawah sadar terstruktur sebagai sebuah bahasa.” Bagi Lacan, psikoanalisis yang paling mendasar bukanlah teori dan teknik mengobati gangguan psikis, akan tetapi juga merupakan sebuah teori dan praktek yang menghadapkan individu dengan dimensi yang paling radikal dari eksistensi manusia. Akibatnya, berkenaan dengan ilmu-ilmu otak hari ini, psikoanalisis itu sendiri, jauh dari subversif, dan tampaknya bukan milik lapangan humanis tradisional yang terancam oleh penghinaan terbaru.
Jika Freud tampaknya, mengabaikan beberapa hal yang membahayakan, Lacan lebih berhati-hati dalam mempraktikkan teorinya. Pada awal 1950 ia membuat pernyataan berikut: mungkin saja bahwa dalam pengalaman terbatas pada individu, psikoanalisis tidak dapat mengklaim untuk memahami totalitas sosiologis setiap objek. Atau bahkan keseluruhan kasus-kasus yang saat ini beroperasi di masyarakat kita.
Meskipun demikian, dalam perlakuan terhadap individu, relasional psikoanalisis telah menemukan strain yang muncul untuk memainkan peran mendasar dalam semua masyarakat, seakan-akan ketidakpuasan dalam peradaban pergi jauh untuk mengungkapkan sifat yang melekat pada budaya. Jika seseorang membuat rancangan transformasi, kita dapat memperpanjang rumus psikoanalisis mengenai hal yang melekat pada beberapa ilmu pengetahuan manusia, yang dapat digunakan.
Dalam hal ini tidak saja menunjukkan seorang ‘individu’ untuk mengakomodasi dirinya sendiri dengan tuntutan realitas sosial, tetapi menjelaskan bagaimana sesuatu seperti “realitas” merupakan dirinya dalam tempat pertama. Tidak hanya memungkinkan manusia untuk menerima kebenaran tentang dirinya yang ditekan – atau dirinya sendiri; ini menjelaskan bagaimana dimensi kebenaran muncul dalam realitas manusia. Ringkasnya, kita akan hipotesis utama bahwa teori Lacanian tidak menjadi relevan dan, memang, penting untuk reinvigoration teori politik dan analisis sosio-politik.
Lacan selalu penuh kontroversi, krisis dan skandal. Dia sangat dipengaruhi oleh Freud dan mengkajinya melalui strukturalisme gaya Ferdinand de Saussure. Selain itu, sedikit banyak dipengaruhi Claude Lévi-Strauss’s dalam struktural antropologi, sampai dengan teori himpunan matematika dan filsafat Plato, Kant, Hegel dan Heidegger. Tidak heran sebagian besar dari konsep-konsep kunci Lacan tidak memiliki kaitan langsung atau sebaliknya berbeda sama sekali dengan teori Freud.
Keberatan lain tersirat dalam keraguan terhadap seminar-seminar theory Lacan. Dalam seminar, Lacan bertindak sebagai seseorang yang “dianalisis.” Lacan senang berimprovisasi, melompat, berbicara kepada publik, yang kemudian mempersilahkan para pembacanya untuk masuk ke dalam peranan kolektif proses analis.
Kemudian sebagai perbandingan, tulisan-tulisannya menjadi lebih kental, karena diformulasikan, dan dilemparkan ke pembaca. Tujuannya adalah untuk melibatkan dan menantang pembaca untuk menganalisa dan menerjemahkannya ke dalam tesis yang jelas serta memberikan contoh dan demonstrasi logis dari mereka sendiri.
Berbeda dengan prosedur akademik biasa, di mana penulis merumuskan sebuah tesis dan kemudian mencoba untuk mempertahankan melalui argumen, Lacan lebih sering meninggalkan pekerjaan ini kepada pembaca. Hal ini untuk mengetahui aktualisasi di kalangan rakyat yang saling bertentangan dan ambiguitas yang ada.
Sederhananya, tiga bab pertama dari buku ini meletakkan teoretis, epistemologis dan politik. Bab pertama adalah yang taat kepada subjek Lacanian, titik awal dalam kebanyakan sosio-politik Lacanian untuk menetapkan konsep politik Lacanian. Meskipun sangat bermanfaat, pendekatan semacam ini kadang-kadang menyembunyikan apa yang telah benar-benar memberikan kontribusi yang banyak. Dalam bab kedua,akan terfokus pada pemahaman Lacanian pada ‘objective’, dari realitas sosial politik Lacanian. Dan bab ketiga adalah diartikulasikan sekitar Lacanian membaca realitas politik.
Tantangan ini hanya mengungkapkan sebagian kecil dari ‘politik’ perjuangan yang terkait dengan proyek Lacanian hampir dari awal. Hal ini tidak mengherankan kemudian bahwa untuk setiap manusia hanya hubungan antara Lacan dan Politik yang menjelma dalam nasib Psikoanalisis dan Politik (meminjam dari judul lain buku oleh Sherry bawah denting – Turkle, 1992) karakteristik hubungan Lacan ke pembentukan psikoanalisis dan pengikut-Nya sendiri, dan tentu saja dari perdebatan tanpa akhir tentang warisannya. Dan Meskipun masalah ini tidak dapat diabaikan, seluruh buku ini merupakan sebuah upaya untuk menunjukkan relevansi Lacanian untuk pertimbangan politik

 
Leave a comment

Posted by on December 8, 2009 in Essay

 

Tags: , ,

flying for a moment

.: when your call did not come, he asked me a question….

Begini, katakanlah muncul seorang laki-laki berumur dengan dua anak manis bermata biru yang bisa saja menjadi adik-adik kecil yang menyenangkan. Muncul begitu saja dengan pesan-pesannya untuk mengingatkan bahwa keduanya pernah berjumpa. Dari sekadar; “I wonder if we could stay in touch… maybe its too much to ask for.” juga, “its lovely to get your message, could not help go see your pictures yet again. My question is WHY?”

Serupa tokoh-tokoh dalam cerita Harlequin. Lelaki bermata dingin dengan tubuhnya yang athletis tengah bermain-main api dengan seorang perempuan dari jauh yang tak kenal red wine selain cukup mendengar nama saja. Tak pernah sekalipun menginjakkan kakinya di ladang-ladang luas di Brazil ataupun Argentina. Tidak pernah menonton adu banteng di Sevilla Spain. Tidak berfoto dengan cara aneh di Taj Mahal. Tidak memiliki rumah dekat Georgia Waterfall yang dipamerkan dalam sebuah foto dengan dua anaknya dan orangtuanya yang nampak berbahagia. Juga pesta-pesta Santo Thomas ala cowboy dengan tarian dan api unggun yang memamerkan gadis-gadis bermata kelam yang menggoda.

Para tokoh dalam cerita Harlequin selalu serba terlalu. Terlalu kaya. Terlalu pintar. Terlalu berpengalaman dalam banyak hal. Terlalu tampan dengan kemeja santai maupun jas dari perancang kenamaan yang dimiliki dunia. Terlalu banyak digoda perempuan -bermain dengan perempuan?- terlalu dekat dengan pistol dan senapan. Terlalu senang berpetualang ke banyak negara selain mengurus perusahaannya sendiri.

Begitupun lelaki ini. Yang mengirimkan buket mawar meski berjarak ribuan kilo untuk si perempuan mungil. Tentu saja, perempuan itu tidak lantas merasa sedang didekati, laki-laki ‘terlalu’ semacam dia tak mungkin suka berlama-lama apalagi bertahan dengan satu perempuan saja. Jangankan tergoda, tertarik juga tidak. Jadi, perihal laki-laki ‘terlalu’ yang kemudian jatuh cinta dengan perempuan yang jauh dari tempatnya hanya karena sekali pernah berjumpa untuk mendiskusikan suatu hal kecil itu hanya ada dalam Harlequin semata. Bukan di kisah nyata. Serupa Cinderella, kisah-kisah manis hanyalah cerita yang pantas dibangun sebagai mitos dan hiburan saja.

Sementara tokoh perempuan yang dicintai si laki-laki ‘terlalu’? Biasanya seorang pembantu di rumahnya, pengasuh anak-anaknya yang menderita karena perceraian, sekretaris di kantor, atau paling banter seorang jurnalis dari sebuah stasiun tv yang mencari berita darinya. Saya ingat, ada juga di antara para tokoh itu seorang penulis yang memiliki tubuh yang tak lebih sexy dibanding tokoh-tokoh lain yang muncul di buku tersebut. Kalau tidak salah ditulis oleh Nora Roberts. Saya lupa.

Nah, tokoh perempuan yang penulis dalam buku itu. Tidak semampai, bahkan mungil menurut Nora Roberts. Memiliki tatap mata yang tajam namun sering nampak kosong. Bola matanya coklat dengan rambut masai yang seolah dibiarkan tak terawat. Penyendiri serta gemar membaca. Tentu berbeda dengan si tokoh laki-laki yang melihat sendiri segala tempat indah dan menarik di dunia dengan mata kepalanya sendiri, dia cukup hanya -mampu- melalui gambar dan tulisan di buku-buku itu.

SATU lagi; TAK berpengalaman dalam urusan cinta, apapun musimnya. Konon kabarnya sangat misterius, sukar dipahami, dan sangat menggugah perasaan ingin tahu. Ini juga kata si laki-laki ‘terlalu’.

Oh, apakah ini serupa tantangan? permainan semacam petualangan yang akan secepatnya melahirkan rasa bosan? Maka si laki-laki akan bilang; “Well, listen to me, it’s sound you are like the pessengers of the wrecked ship were hopeless. Man must adjust himself to conditions around him in order that he could survive.”

Jadi begitulah menurut si laki-laki yang serba ‘terlalu’ ini, sekian kali dia pernah melihat perempuan itu, meski cukup sekali bisa mengajaknya diskusi di suatu tempat. Sayangnya, perempuan itu lupa, sesekali saja dia ingat tapi secepatnya dilupakan.

Maka bila dalam sehari, perempuan itu menerima telepon untuk kesekian kali dengan ataupun suara sekretaris si laki-laki terlebih dulu yang bicara. Perempuan itu selalu tersenyum; karena jelaslah baginya bahwa dongeng sebelum tidur tak harus dipercaya dalam dunia nyata. Tokoh-tokoh SERBA terlalu tak akan pernah jatuh cinta pada perempuan semacam dia. Kalaupun tertarik itu hanya untuk hitungan hari dan akan segera berakhir begitu tokoh laki-laki berhasil menarik pelatuk kecil di pistolnya.

Yogyakarta. 17Agustus2008

 

Tags: ,

Kinda Creams Which are Contending For a Spongecake

.: untuk S, R, dan para kekasih yang lainnya.

Pagi tadi bayi kecil berumur 3 tahun itu dadanya membengkak. Jamur sialan memenuhi paru-parunya. Bapak dan Ibunya menangis. Itu sudah jam 6 lebih sedikit, saat saya seperti kesal pada diskusi-diskusi yang lewat dan mungkin kekasih saya masih lelap.

Saya memang bukan siapa-siapa, tapi saya tahu saya terluka melihat -lagi- virus HIV/AIDS akan merebut seorang lagi dari saya. Seseorang yang karena senyum dan cara bercelotehnya telah merebut hati saya.
Sekarang, seperti yang sudah-sudah, saya di antara kedua orangtuanya yang masih belia -usianya tak lebih tua dari saya- cemas menunggu kabar-kabar yang bisa saja sangat tidak menggembirakan.

Pertengahan tahun lalu, saya menuliskan ini dan mempresentasikannya dalam sebuah kongres HIV/AIDS di Jakarta. Mungkin ringkasnya seperti ini. Versi yang sudah saya edit hilang entah kemana.

With many of the existence of institutions which cope with HIV/AIDS, has brought a certain effect towards the local society and ODHA (Orang dengan HIV/AIDS/ People who are living AIDS), particularly. Positive effects of those existences perhaps had already been revealed by those institutions themselves. Nevertheless, as an outsider, I will propose some of the less pleasant to be heard.

Some rumors that have been spread on the contending for coverage in KD (Kelompok Dampingan/ Assisting Groups) in Yogyakarta. Each of the institution has been assuming on owning their KD, furthermore, it is considered as a ‘pamali’ (Sudanese word for ‘taboo’) for other institution to do treatments or assistance within the same coverage and program in the same KD.

Even though there is KPA (Koalisi Penanggulangan Aids), however, discrepancies among those related institutions can be known by common society. Besides, frankly, it is not merely the only problem, from several of those institutions coping with HIV/AIDS, it simply can be assured that they tend to focus on the prevention to the liable society. They forget to provide discourse to the ODHA to help to stop the spreading of HIV/AIDS, which are reflected in their daily activities.

There must be an institution that gives the assistance towards ODHA/OHIDA. Through this institution, ODHA/OHIDA will have some discourses and awareness, which are enough neither to intentionally nor unintentionally spread those viruses to other people. I faced a case in Yogyakarta, where there is a man who is swapping and changing sexual partners continually with the intention to spread the virus to other people/ to each of adolescent he has been seeing with. There is also a friend of mine who is HIV positive and actively working without informing his/her health condition to his/her clients. To me, this is undoubtedly unethical and harmful behavior!

With the institution which focus on this condition, I think the tackling of HIV/AIDS will be coordinated and achieved. There is also importance in performing a study of case on the difference, which quite significant, between ODHA in assistance (from institution) and those who are without assistance. If there is no major difference, though, I think it does not then mean that the judgment of the barren ness of the HIV/AIDS institutions can be assumed true. Because there are many things that already done by peers from the institutions with or without the society’s (including my) awareness.

With many of the existence of institutions which cope with HIV/AIDS, has brought a certain effect towards the local society and ODHA (People who are living AIDS), particularly. Positive effects of those existences perhaps had already been revealed by those institutions themselves. Nevertheless, as an outsider, I will propose some of the less pleasant to be heard.

Some rumors that have been spread on the contending for coverage in KD (Assisting Groups) in Yogyakarta. Each of the institution has been assuming on owning their KD, furthermore, it is considered as a ‘pamali’ (Sudanese word for ‘taboo’) for other institution to do treatments or assistance within the same coverage and program in the same KD.
Even though there is KPA, however, discrepancies among those related institutions can be known by common society. Besides, frankly, it is not merely the only problem, from several of those institutions coping with HIV/AIDS, it simply can be assured that they tend to focus on the prevention to the liable society. They forget to provide discourse to the ODHA to help to stop the spreading of HIV/AIDS, which are reflected in their daily activities.

There must be an institution that gives the assistance towards ODHA/OHIDA. Through this institution, ODHA/OHIDA will have some discourses and awareness, which are enough neither to intentionally nor unintentionally spread those viruses to other people. I faced a case in Yogyakarta, where there is a man who is swapping and changing sexual partners continually with the intention to spread the virus to other people/ to each of adolescent he has been seeing with.
With the institution which focus on this condition, I think the tackling of HIV/AIDS will be coordinated and achieved.

(herlinatiens, Kongres Nasional II 2007, Lido-Jakarta. 2007)

 

Tags: , , , , , , ,